Kanker paru merupakan penyebab kematian terbanyak pada laki-laki di dunia dan di Indonesia. Walau terlihat banyak kemajuan pada bidang diagnosis dan terapi dalam beberapa dekade terakhir, kanker paru tetap merupakan salah satu kanker yang paling buruk prognosisnya.
Salah satu penyebab angka mortalitas yang tinggi ialah banyaknya pasien yang datang dalam stage lanjut.
“Jika saat ditegakkan diagnosis pasien dinyatakan masih stage lokal maka angka five years survival mencapai 54,8 persen, sedangkan bila sudah mengalami metastasis maka hanya 4,2 persen pasien yang dapat bertahan selama 5 tahun,” ucap Achmad Mulawarman Jayusman, mahasiswa Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM.
Hal ini ia sampaikan dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor yang berlangsung Selasa (22/9) secara daring. Dalam disertasinya, ia meneliti apakah miR-148 dan miR-155 dapat digunakan sebagai petanda prognostik pada kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK).
“Bila prognosis pasien dapat diketahui, diharapkan dapat diberi pengobatan yang tepat sehingga akan menghemat biaya obat yang harus ditanggung oleh BPJS Kesehatan,” terangnya.
Di era proteomik ini, ungkapnya, sudah selayaknya modalitas prognostik non-invasif yang lebih tepat menjadi prioritas utama para peneliti.
Mengidentifikasi petanda biologi prognostik baru menurutnya sangat kritikal dan esensial untuk mengontrol kanker paru. Apalagi dalam 1 dekade terakhir ini, ditemukan molekul-molekul noncoding RNA kecil yang disebut mikro RNA (miRNA) yang menurunkan ekspresi protein dari gen yang dituju dengan cara merepresi proses translasi atau mendegradasi messenger RNA (mRNA).
Pada penelitian yang ia lakukan, jenis miR-148 dan miR-155 diambil dengan menggunakan liquid biopsy untuk mengetahui prognosis KPKBSK.
“Bila miR-148 dan miR-155 terbukti dapat menjadi biomarker non-invasif untuk prognosis KPKBSK, diharapkan penelitian ini dapat menjadi pertimbangan untuk panduan klinisi dalam menentukan pilihan pengobatan yang tepat bagi pasien KPKBSK di Indonesia,”papar Achmad.
Dari penelitiannya, ia menemukan bahwa pasien KPKBSK dengan ekspresi miR-148 yang rendah dalam sirkulasi memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien KPKBSK dengan miR148 yang tinggi di Indonesia.
Sementara itu, pasien Pasien KPKBSK dengan ekspresi miR-155 yang tinggi dalam sirkulasi memiliki prognosis yang lebih buruk daripada pasien KPKBSK dengan miR155 yang rendah di Indonesia.
“Ekspresi miR-148 yang rendah dan ekspresi miR-155 yang tinggi dalam sirkulasi berhubungan dengan overall survival dan progression free survival yang buruk pada KPKBSK,” imbuhnya.
Penulis: Gloria