Plt Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung, Kementerian LHK, Ir. Hudoyo, M.M., mengatakan persoalan yang kini sedang dihadapi adalah adanya 14 juta lahan kritis di Indonesia. Lahan kritis ini akibat degradasi lahan berupa pengurangan status lahan secara fisik, kimia dan atau biologi sehingga menurunkan kapasitas produksi.
“Tentu saja lahan kritis atau terdegradasi ini menjadikan kurang berfungsi dengan baik untuk ditanami. Ada beberapa sebab diantaranya berkurangnya lahan basah, perluasan lahan pertanian subsisten, perluasan lahan industri tidak ramah lingkungan dan dinamika penggunaan lahan,” ujarnya dalam Webinar yang diselenggarakan Pusat Kajian Silvikultur Intensif Hutan Tropis Indonesia memperingati dies ke-57 Fakultas Kehutanan UGM, Kamis (24/9).
Hudoyo menyebut berkurangnya lahan basah seperti mangrove yang memiliki luas 3,4 juta ha, sebanyak 1,8 juta ha dalam kondisi kritis dan 1,6 kondisi baik. Sementara kemampuan rehabilitasi lahan mangrove ini hanya 1.000 ha per tahun, belum lahan basah yang gambut.
Demikian pula kondisi perluasan lahan pertanian subsisten yang mengakibatkan lahan pertanian meningkat 18,7 persen, dan menurunnya bahan organik tanah serta 80 persen lahan pertanian mengalami erosi. Sementara perluasan produksi minyak sawit, kayu lapis, industri pulp-kertas dan lahan kosong juga turut menyumbang terjadinya degradasi lahan.
“Belum lagi adanya dinamika penggunaan lahan, berupa perubahan fungsi lahan prima menjadi lahan kritis dan lahan rusak,” terangnya.
Akibat degradasi lahan ini berbagai isu harus dihadapi diantaranya musim kemarau panjang atau kekeringan, minimnya peresapan air ke dalam tanah dan kekurangan sumber daya air. Berbagai upaya yang dilakukan pembuatan hujan buatan, pembuatan sumur resapan, menghidupkan mata air dengan kegiatan penanaman di sekitar sumber mata air dan lain-lain.
Hudoyo menyatakan rencana aksi nasional berupa pengurangan degradasi lahan guna mendukung ketahanan pangan dilakukan. Berbagai strategi pun kemudian dilakukan diantaranya upaya peningkatan kesadaran dan pendidikan terutama untuk kalangan generasi muda.
Selain itu, menyusun regulasi yang mendukung mitigasi degradasi lahan untuk masing-masing sektor dan peningkatan iptek. Juga dalam hal pengembangan dan kapasitas pembangunan berupa CSR 10 persen untuk perusahaan pengelolaan dalam hutan dan APBD 1 persen serta vmobilisasi pendanaan dan transfer.
“Jadi, 10 persen CSR perusahaan pengelolaan dalam hutan, kita minta harus tanam pohon, bukan yang lain. Adapun implementasi kegiatan penanganan degradasi lahan dan kekeringan untuk mendukung ketahanan pangan berupa pemberian bibit gratis, kebun bibit rakyat, agroforestri dan kerja sama dengan 179 PTN dan Kemenag serta gerakan tanam 25 pohon,” ucapnya.
Dalam webinar bertema Strategi Rehabilitasi Untuk Peningkatan Produktivitas Lahan dan Ketahanan Pangan Nasional, ia mengakui menghadapi 14 juta ha lahan kritis bukan persoalan mudah. Dengan mendapat dukungan APBN dan APBD serta swasta maka kemampuan pemulihan lahan kritis pun setiap tahun hanya 232.250 ha.
“Sehingga diperlukan waktu selama 60 tahun untuk pemulihan lahan kritis di Indonesia. Karena itu kesadaran dan peran penting masyarakat sangat diharapkan,” tuturnya.
Prof. Dr. Ir. Suryo Hadiwinoto, M.Agr.Sc, dosen di Laboratorium Silvikultur dan Agroforestri, Fakultas Kehutanan UGM, menambahkan betapa pentingnya implementasi silvikultur intensif untuk meningkatkan produktivitas hutan dan ketahanan pangan. Menurutnya, mengembalikan produktivitas hutan di lahan terdegradasi di Indonesia yang tercatat di tahun 2018 sebesar 14 juta ha menjadi pekerjaan penting yang harus dilakukan.
“Disinilah rehabilitasi hutan dan lahan dapat dilaksanakan dengan mengimplementasikan silvikultur intensif untuk mengembalikan produktivitas lahan agar pada akhirnya dapat mendukung ketahanan pangan. Praktik baik yang mengimplementasikan silvikultur intensif dan intensifikasi tanaman pangan dilakukan adalah melalui program IFFS, Integrated Forest Farming System,” katanya.
Sementara itu, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo., S.P., M.Ec, dosen Fakultas Pertanian UGM, menyatakan persoalan ketahanan pangan nasional merupakan tantangan besar bagi Indonesia. Beberapa tantangan tersebut bisa dilihat dari aspek kurangnya sumber daya manusia pada sektor pertanian, kebutuhan pangan per kapita Indonesia yang sangat besar hingga ketergantungan impor yang tinggi (10-15%).
Dari beragam tantangan tersebut, kontribusi sektor kehutanan dipandang sangat dibutuhkan dan perlu dibarengi strategi yang tepat. Agroforestry adalah salah satu strategi yang sering digunakan untuk membangun hutan melalui kegiatan pertanian.
“Skema dari pemerintah melalui perhutanan sosial salah satunya seperti hutan desa memungkinkan pemanfaatan hasil hutan non-kayu yaitu tanaman pangan dapat ditujukan untuk mendukung kontribusi hutan untuk ketahanan pangan masyarakat, dan untuk mendukung ketahanan pangan di sektor kehutanan diperlukan sinergi antar sektor termasuk dengan pertanian agar dapat berhasil,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Lintas Gayo