Kenaikan tunjangan anggota DPRD di seluruh Indonesia mengundang reaksi penolakan. Kenaikan drastis akibat dikeluarkannya PP No. 37 tersebut, melahirkan sikap protes banyak pihak dalam masyarakat. Tak terkecuali, protes yang disampaikan para kalangan akademisi. Bahkan, Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) Fakultas Hukum UGM menyimpulkan PP No 37 Tahun 2006 merupakan Cara Lain Merampok Uang Rakyat.
Kesimpulan tersebut disampaikan Denny Indrayana, SH, LL.M., Ph.D, seusai diskusi Anti Korupsi, di PuKAT Korupsi FH UGM, Bulaksumur E-12 Yogyakarta, Jum’at, (5/1).
“PP 37 Tahun 2006 menunjukkan kenaikan tunjangan anggota DPRD yang sangat luar biasa. Jika diasumsikan secara kasar, PP ini memperlihatkan penambahan penghasilan masing-masing angggota DPRD mencapai 100 juta. Dengan jumlah DPRD sekitar 12.000, akan terlihat angka 1,2 Triliun lebih,†ujar bung Denny.
Kata Denny, dengan PP 37 Tahun 2006 ini, maka seorang pimpinan DPRD Provinsi di Sulawesi Selatan yang memiliki penghasilan tetap Rp 9,269,250, akan mendapat tambahan penghasilan tidak tetap Rp 27.000.000. Dengan demikian penghasilan setiap bulannya akan mencapai Rp 36.269,250.
“Sedangkan anggota DPRD, yang memiliki penghasilan tetap Rp 6.418.500 lantas mendapat tambahan penghasilan tidak tetap 15.700.000, dirinya akan memperoleh penghasilan Rp 22.118.500 tiap bulan. Sementara, di Yogyakarta, seorang pimpinan DPRD akan mendapat tambahan penghasilan kurang lebih 250 juta tiap tahunnya,†ujar pengamat hukum ketatanegaraan UGM.
Selain itu, masih ada tunjangan lainnnya dan tunjangan tersebut harus dibayarkan oleh masing-masing Pemerintah Daerah. Padahal, kata Denny, dibeberapa daerah saat ini mengalami defisit angggaran. Hal itu dikarenakan, semua PAD (Pendapatan Asli Daerah) habis untuk membayar tambahan penghasilan menyusul dikeluarkannya PP No 37 Tahun 2006.
“Disamping itu, karena besarnya uang tunjangan, juga beberapa item tertentu diberlakukan secara surut mulai 1 Januari 2006. Padahal PP ini dikeluarkan Presiden SBY di penghujung Desember 2006,†tambah Denny.
Lebih lanjut, Denny menjelaskan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama 2,5 tahun telah menetapkan PP tentang kedudukan protokoler dan keuangan pimpinann dan angggota DPRD sebanyak tiga kali. Dalam era Presiden Megawati, kata Denny, telah keluar PP No.24 Tahun 2004.
“Sedangkan SBY sudah menetapkan PP No. 37/2005 dan PP.No.37/2006. Celakanya, yang diutak-atik hanya tunjangan untuk pimpinan dan anggota DPRD. Secara gamblang, PP ini dapat diindikasikan merupakan bagian dari strategi pemerintah pusat menghadapi tekanan partai politik,†tandas bung Denny.
Mensikapi kondisi tersebut, PuSKAT FH UGM berusaha mendesak pemerintah untuk melakukan revisi PP No 37 Tahun 2006. Hal itu demi menyelamatkan uang rakyat dari model perampokan sistemik melalui produk hukum. Menghimbau seluruh kepala Daerah untuk tidak membayarkan semua tunjangan sebagaimana yang disebutkan dalam PP No 37/2006, apalagi mengingat kondisi rakyat Indonesia yang sedang dilanda banyak penderitaan, sebab pencairan dana tersebut semakin menciderai perasaan masyarakat Indonesia yang saat ini dihimpit oleh banyak persoalan. Mengajak seluruh elemen masayarakat yang peduli terhadap pemberantasan korupsi agar merapatkan barisan, menyusun strategi kolektif untuk melawan PP ini, paling tidak dengan mengajukan judicial review terhadap PP ini ke Mahkamah Agung (MA). Humas UGM