Komisioner KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, menyatakan mungkin saja pilkada serentak 2020 ditunda jika mekanisme konstitusi dan proses pengambilan keputusannya dilakukan secara resmi. Menurutnya pilkada dilanjutkan atau ditunda adalah melalui keputusan bersama antara KPU, pemerintah dan DPR.
“Tentu saja posisi KPU selama belum ada keputusan yang baru tentang hal itu maka KPU sebagai penyelenggara pemilu berkewajiban untuk melaksanakannya. Kalau soal menunda kan pernah, kemarin itu mestinya di bulan September, mundur di tanggal 9 Desember 2020,” katanya, Selasa (13/10) saat berlangsung webinar Meneropong Kelanjutan Pilkada Serentak di Tengah Pandemi.
Dewa Raka Sandi menyebut ada situasi-situasi tertentu yang bisa menunda penyelenggaraan pilkada. Seperti yang pernah dialami di saat situasi normal, di saat itu anggaran penyelenggaraan pilkada belum turun.
“Padahal, saat itu tahapan sudah pada rekrutmen, tak ada anggaran maka tidak dapat dilaksanakan, itu sebagai contoh. Untuk 2020 secara umum anggaran sudah tersedia, secara regulasi aspek hukum juga sudah meski ada yang harus disempurnakan. Jadi, untuk menunda pilkada itu harus melihat aspek yang lebih luas, jangan sampai hanya satu aspek saja,” ucapnya.
Menurutnya, penundaan bukan hal baru, tetapi harus ada alasan pembenar dan harus dilihat secara komprehensif sehingga bukan sekadar menunda begitu. Di dalam UU No 10/ 2016 prinsip pilkada dilakukan secara serentak yaitu dilakukan di tanggal dan hari yang sama.
Hanya saja, untuk kondisi saat ini yang perlu mendapat perhatian adalah pilkada dalam situai pandemi Covid-19. Situasi saat ini berbeda dengan peristiwa bencana yang wilayahnya bisa dilokalisir, pandemi sangat dinamis bukan hanya skala lokal dan nasional tetapi global.
Oleh karena itu, pendekatannya adalah kewaspadaan. Secara terus menerus menyampaikan soal protokol kesehatan secara nasional dan melakukan pengetatan kepada daerah-daerah penyelenggara pilkada yang memiliki kompleksitas terhadap aspek pandemi Covid-19.
“Memang dinamis, bisa jadi beberapa daerah saat ini zona hijau, tapi siapa sih yang bisa menjamin zona tersebut tetap hijau. Bisa juga daerah-daerah yang saat ini zona merah karena upaya hari ke hari, minggu ke minggu atau bulan bisa jadi menurun sehingga zonanya bisa lain,” terangnya.
Terhadap kekhawatiran tingkat partisipasi pilkada di bulan Desember 2020 nanti, Dewa menuturkan, tingkat partisipasi di saat pandemi Covid-19 ada dua pendekatan. Secara hukum, katanya, tidak ada aturan yang mengatur sah tidaknya suatu pilkada dengan syarat-syarat persentase tertentu.
“Berapa saja tingkat partisipasinya secara hukum pilkada tetap sah karena tidak diatur jumlah batasannya. Meski begitu kita tidak boleh berpikir sempit seperti itu, sebab sesuai substansinya pilkada adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat melalui mekanisme pemilihan. Partisipasi bisa dilihat dalam beberapa perspekstif, tidak hanya hadir di TPS tapi bagaimana masyarakat juga terlibat aktif dalam beberapa tahapan penyelenggaraan,” ungkapnya.
Karena pilkada di tengah pandemi Covid-19, KPU sebagai penyelenggara pemilihan mendorong penggunaan teknologi informasi. Diantaranya pengoptimalan penggunaan teknologi informasi untuk kampanye dan program debat program.
KPU berharap pasangan calon dan tim pemenangan bisa berkampanye di media sosial dalam jaringan selama 71 hari. Untuk itu akun media sosial yang disediakan cukup besar, untuk calon gubernur dan wakil gubernur 30 akun dan tingkat bupati/ wakil bupati atau walikota/ wakil walikota 20 akun.
“Penggunaan akun untuk media sosial ini harus mendapat verifikasi oleh dewan pers sehingga dapat diketahui siapa saja pengelolanya terhadap akun-akun dan platform yang akan digunakan, siapa saja adminnya,” imbuhnya.
Webinar Poltour “Meneropong Kelanjutan Pilkada Serentak di Tengah Pandemi” diselenggarakan Research Centre for Poltics and Government (PolGov) Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM melalui Laboratorium Big Data Analytics. Melalui kegiatan ini dilakukan analisis tentang topik penundaan Pilkada 2020 dengan mengajukan dua pertanyaan kunci yaitu bagaimana wacana penundaan pilkada serentak 2020 dari sudut pandang aktor dan isu kunci? Dan Bagaimana respon warganet terkait wacana penundaan pilkada serentak?
Tim Peneliti PolGov dan Big Data Analytics, Dr. Mada Sukmajati, menyatakan pelaksanaan Pilkada 2020 menghadapi tantangan baru dibandingkan pelaksanaan sebelumnya, yakni pandemi Covid-19. Pandemi Covid-19 yang melanda semua negara, memengaruhi pelaksanaan pemilu di berbagai negara.
Di tahun 2020, ada 72 negara yang menunda pelaksanaan pemilu dan 67 negara yang tetap menggelar pemilu di tengah pandemi Covid-19, baik pemilu nasional maupun lokal. Indonesia tetap akan melangsungkan pemilihan kepala daerah (Pilkada) di 9 Desember 2020, yang sebelumnya mengalami penundaan.
“Pilkada 2020 yang akan diselenggarakan di 270 daerah, sebanyak 8 daerah melakukan Pilgub, 224 kabupaten, dan 37 kota di 32 provinsi, ini tentu menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat,” katanya.
Mada menyatakan pemberitaan tentang penundaan Pilkada 2020 paling banyak dikaitkan dengan isu kesehatan. Menyusul kemudian dikaitkan dengan isu hukum, politik, ekonomi, dan sosial.
Hal ini menunjukkan kesehatan merupakan isu yang paling banyak dipertimbangkan terkait Pilkada 2020 di tengah pandemi. Sedangkan pada sisi yang lain, pertimbangan yang digunakan pemerintah adalah aspek kesehatan (ketidakpastian situasi) dan stabilitas politik dalam negeri.
“Di beberapa kesempatan, pemerintah bahkan menyampaikan pertimbangan ekonomi,” katanya.
Dari penelitian yang dilakukan disebutkan dalam rentang waktu tujuh bulan pengambilan data, tercatat ada sebanyak 3.746 artikel dari 155 portal media dan 52.734 twit yang memperbincangkan topik “Penundaan Pilkada 2020”. Hal ini memperlihatkan topik penundaan mendapatkan media coverage yang cukup besar, baik di media online, maupun di media sosial Twitter.
Selain itu, terdapat dua puncak dalam pemberitaan di media online tentang penundaan pilkada 2020, yakni pada 31 Maret 2020 (pasaa kesepakatan penundaan Pilkada 2020) dan 21 September 2020 (pasca Muhammadiyah dan NU memberikan pernyataan resmi untuk tidak melaksanakan pilkada di masa pandemi). Sedangkan, puncak perbincangan di media sosial twitter terjadi pada 21 September 2020, hal ini menunjukan masyarakat belum yakin sepenuhnya dengan rancangan pemerintah, atau lebih spesifik lagi adalah penyelenggara pemilu dalam menggelar pilkada di tengah pandemi.
“Temuan ini menunjukkan bahwa penyelenggara pemilu perlu melakukan upaya yang berkesinambungan untuk meyakinkan masyarakat bahwa mereka telah mendesain setiap tahapan pilkada dengan baik untuk meminimalkan angka pertumbuhan kasus Covid-19 akibat dari pelaksanaan Pilkada 2020,” terangnya.
Kajian juga menyebutkan Muhammadiyah dan NU menjadi dua institusi non negara yang memiliki pengaruh signifikan dalam pemberitaan media tentang Penundaan Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 sehingga rekomendasi dari keduanya telah mendapatkan respons publik yang besar di media sosial. Hal ini menunjukkan bahwa adanya partisipasi masyarakat di dalam kebijakan penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah pandemi.
“Pemerintah dan penyelenggaara pemilu perlu mengapresiasi hal ini dan terus menjalankan komunikasi serta kolaborasi dengan kedua organisasi tersebut sebagai upaya untuk mempersiapkan setiap tahapan dengan mengedepankan pelaksanaan protokol kesehatan,” urainya.
Hasil kajian lain terkait dengan aktor, maka setidaknya ada enam aktor yang sering diberitakan dalam topik Penundaan Pilkada 2020, yakni Joko Widodo (Pemerintah), Arief Budiman (KPU), Tito Karnavian (Kemendagri), Mahfud MD (Menkopolhukam) pada satu sisi dan NU serta Muhammadiyah pada sisi yang lain. Aktor pemerintah cenderung mendorong pelaksanaan Pilkada 2020, KPU cenderung hanya sekedar mengikuti keputusan dari pemerintah, dan NU-Muhammadiyah yang merekomendasikan untuk penundaan Pilkada 2020.
Sedangkan dari data media sosial Twitter, terlihat ada keresahan warganet atas Pilkada 2020 dikarenakan pertimbangan keselamatan rakyat, nyawa, kemanusiaan, dan dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini memunculkan istilah : “kemanusiaan di atas politik”.
“Di puncak perbincangan, terlihat topik ini kemudian mengalami perluasan sehingga terkait dengan isu-isu yang lain, yakni omnibus law dan oligarki. Dari SNA terlihat bahwa di dalam wacana Penundaan Pilkada 2020 terdapat sejumlah aktor dominan yang tersebar cukup merata. Dengan demikian, topik ini tidak hanya berpusat pada satu atau beberapa pihak saja, melainkan wacana ini tersebar di berbagai pihak yang sangat mungkin memiliki kepentingan politik, ekonomi, dan sosial yang berbeda-beda satu sama lain,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Jatimnow.com