Istilah impostor dalam beberapa waktu terakhir semakin populer karena game Among US yang banyak dimainkan oleh generasi milenial. Impostor dalam game tersebut merupakan pemain yang bertugas menipu, mengacaukan permainan tanpa ketahuan dan membunuh karakter pemain lainnya. Lalu, apakah game ini bisa memicu impostor syndrome?
Psikolog Klinis UGM, Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., mengatakan impostor syndrome atau impostor phenomenon merupakan fenomena psikologis dimana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih. Dengan kata lain, orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Ia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual diri.
Nuning, panggalian akrab dosen Fakultas Psikologi UGM ini menyebutkan seseorang dengan impostor syndrome tak pernah berhenti meragukan apakah keberhasilan yang diraih merupakan cerminan dari kemampuannya dan orang tersebut memiliki ketakutan kondisinya itu diketahui orang lain dan dianggap sebagai penipu.
“Ada kekhawatiran ketahuan, sebab ia merasa selama ini melakukan penipuan atau berbuat curang. Padahal pencapaian atau prestasi itu nyata karena memang benar-benar mampu atau pintar ,” jelasnya saat dihubungi Minggu (18/10)
Kondisi ini disampaikan Nuning berbeda dengan istilah impostor yang berasal dari Bahasa Inggris yang artinya seseorang yang berpura-pura menjadi orang lain dengan tujuan untuk menipu atau melakukan kecurangan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dari kepura-puraan.
Nuning menyebutkan bahwa impostor syndrome tidak masuk dalam klasifikasi gangguan jiwa. Kendati begitu, sindrom ini umum dijumpai dalam kehidupan dan cukup mengganggu karena jika terus menerus terjadi dapat menimbulkan kecemasan, stres, bahkan depresi.
Fenomena impostor ini pertama kali dimunculkan oleh Psikolog Rose Clance dan Suzanne Imes pada tahun 1978. Di awal penelitian diketahui sindrom ini banyak dijumpai pada wanita cerdas dengan capaian prestasi tinggi. Lalu, penelitian terus berlanjut dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa impostor syndrom tidak hanya pada wanita, tetapi juga ditemukan pada pria.
“Sindrom ini bisa terjadi pada siapa saja, terutama pada orang yang harus menunjukkan performa pencapaian intelektual. Umum dijumpai saat seseorang memulai perjalanan intelektual atau karier baru juga pada orang dengan karakter perfeksionis,” papar wanita yang sempat mengambil studi Clinical Psychology di Illionis Institute of Technology dan saat ini tengah menuntaskan studi doktoralnya di Universitas Gadjah Mada.
Nuning menuturkan terdapat sejumlah faktor yang memicu terbentuknya impostor syndrome. Salah satunya adalah pola asuh keluarga. Ketika anak tumbuh dengan dalam keluarga yang terlalu mengedepankan suatu pencapaian intelektual dan tidak cukup mengajarkan pada anak tentang bagaimana merespons kesuksesan maupun kegagalan maka akan menjadi lahan subur bagi Impostor Syndrome untuk berkembang.
“Akan ada perbandingan antar anak/saudara dan ini menjadi bibit mengembangkan Impostor Syndrome dimana anak merasa apa yang dilakukan tidak pernah cukup baik,” terangnya.
Faktor lain adalah adanya tuntutan atau tekanan dari masyarakat tentang pentingnya kesuksesan yang dapat memicu pemikiran yang keliru tentang bahwa seseorang akan berharga hanya jika ia berhasil dan karenanya tidak berharga ketika gagal. Seseorang dengan Impostor Syndrome juga merasa tertekan dengan label bahwa ia orang cerdas sehingga ia harus selalu mencapai ekspektasi tersebut.
Lantas bagaimana cara untuk mencegah agar tidak mengalami impostor syndrome? Nuning menyampaikan kuncinya ada pada upaya menumbuhkembangkan pemahaman atas diri sendiri jika kesempurnaan bukanlah hal yang utama. Namun, yang terpenting adalah untuk melakukan yang terbaik.
“Ini penting untuk ditumbuhkembangkan sejak dini,” tegasnya.
Berikutnya, mengenali dan menghargai kemampuan diri. Menuliskan hal-hal yang telah berhasil dilakukan dan memberikan apresiasi terhadap diri sendiri sesederhana apapun capaiannya, merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan oleh orang dengan impostor sindrom untuk mulai memutus rantai pikiran yang meragukan kemampuan diri. Cara lain adalah dengan membicarakan perasaan keraguan atas keberhasilan dan ketidakmampuan diri pada mentor atau orang yang dapat dipercaya.
Apabila seseorang mencurigai dirinya mengalami impostor syndrome Nuning menyarankan sebaiknya memgambil konsultasi dengan psikolog atau profesional kesehatan mental lainnya. Sebab, fenomena intellectual self-doubt ini dapat meluas pada area fungsi mental lainnya dan dapat memunculkan gangguan mental misalnya gangguan kecemasan dan depresi.
“Kuatnya pemikiran yang keliru Impostor Syndrome memerlukan intervensi psikologis yang terstruktur, misalnya dengan terapi kognitif behavioral, untuk memperbaiki kekeliruan dalam berpikir dan merespon lingkungan,” ucapnya.
Penulis: Ika
Foto: shutterstock.com
Foto: shutterstock.com