Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementrian Pertanian RI, Dr. Ir. Agung Hendriadi, M.Eng., menyebut bahwa pangan merupakan hak asasi setiap individu, dan memiliki pengaruh terhadap stabilitas ekonomi makro.
UU No. 18 tahun 2012 tentang pangan, terangnya, mengamanahkan agar negara tetap mempertahankan produksi agar dapat menjamin bahwa tiap individu di Indonesia tetap bisa makan serta hidup sehat dan produktif.
Meski demikian, terdapat berbagai tantangan dalam menciptakan ketahanan pangan di masa ini, ditambah lagi dengan persoalan yang muncul akibat pandemi Covid-19.
“Dengan penduduk Indonesia sebanyak 267 juta jiwa dan pertumbuhan 1,26 persen per tahun, kita membutuhkan banyak pangan. Kompleksitas kelembagaan pangan saat ini hulu sampai hilir,” ucapnya dalam seminar bertajuk “Politik Pangan Nasional menuju Indonesia Emas” yang diselenggarakan Departemen Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Kamis (22/10).
Di samping tantangan jumlah penduduk, ia menyebut bahwa perumusan kebijakan pangan masih bersifat parsial karena pelaksanaan kebijakan pangan secara sektoral. Alur koordinasi pun cukup kompleks sehingga sulit untuk bergerak cepat.
Pandemi Covid-19 juga memberi tantangan tersendiri, salah satunya terhadap distribusi pangan.
“Ada hambatan distribusi pangan baik antarpulau, antarprovinsi, dan bahkan di dalam provinsi sendiri,” terangnya.
Sementara itu, Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec, mengungkapkan bahwa share GDP pertanian terhadap perekonomian nasional memiliki kecenderungan turun hingga mencapai 13,14 persen. Konversi lahan pertanian yang cukup masif serta usia petani yang mayoritas di atas 45 tahun juga menjadi persoalan tersendiri.
“Ini menjadi salah satu isu penting bagaimana memunculkan regenerasi di sektor pertanian,” ungkapnya.
Sektor pertanian, terangnya, perlu dikembangkan untuk menjadi lebih atraktif dengan mengembangkan kewirausahaan dan dengan memanfaatkan teknologi.
Seminar Politik Pangan Nasional menuju Indonesia Emas merupakan bagian dari rangkaian acara Dies Natalis Fakultas Pertanian UGM ke-74. Seminar diselenggarakan secara daring dengan menghadirkan tiga pembicara beserta Prof. Dr. Ir. Irham, M.Sc selaku moderator.
Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Departemen Sosial Ekonomi Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Masyhuri, memberikan paparan terkait integrasi agribisnis pangan. Pertanian, terangnya, telah berubah dari pertanian tradisional kepada agribisnis akibat perkembangan teknologi yang memunculkan spesifikasi.
“Dari petani tradisional yang serba mandiri, dalam agribisnis cenderung ada spesialisasi di mana satu sama lain berinteraksi dalam satu sistem dengan orientasi perusahaan dan komersial,” paparnya.
Perubahan ini membawa sejumlah dampak positif, mulai dari peningkatan produktivitas, dan skala ekonomi, pengurangan beban tenaga kerja, hingga perbaikan kondisi kerja. Di sisi lain, timbul pula dampak negatif seperti ketimpangan dan ketenteraman industri yang terganggu.
Untuk menciptakan agribisnis yang mandiri, berdaulat, dan memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, menurutnya perlu dikembangkan agroindustri hulu dan hilir ditambah dengan sistem pemasaran yang terintegrasi, penunjang yang kuat, serta usaha pertanian yang berdaya saing.
“Kita kalau hanya mandiri di bidang pertanian saja, kalau input tidak mandiri dan agroindustri tidak berkembang maka percuma saja, masih seperti zaman kolonial Belanda,” ucap Masyhuri.
Penulis: Gloria