Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT Korupsi) Fakultas Hukum UGM kembali mempertegas sikapnya, menolak kehadiran PP No. 37 Tahun 2006 Tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Sikap penolakan PuKAT Korupsi FH UGM ditunjukan dengan menyelenggarakan Forum Experts Meeting PP No 37 Tahun 2006, dari tanggal 26 s.d 29 Januari 2006.
Bersama Indonesia Court Monitoring dan Kemitraan, PuKAT FH UGM melalui Forum Experts Meeting menyatakan: (i) PP No 37 Tahun 2006 nyata-nyata melanggar berbagai peraturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi rujukan peraturan ini. Misal, Pasal 3 UU No 28 tahun 1999; Pasal 3 ayat 1, Pasal 4, dan Pasal 28 UU No 17 Tahun 2003; Pasal 3 Ayat (3) UU No 1 Tahun 2004; Pasal 139 ayat (1), Pasal 197 dan Pasal 192 ayat (2) UU No 32 Tahun 2004; dan Pasal 66 Ayat (1) dan Pasal 67 Ayat (2) UU No 33 Tahun 2004. (ii) PP No 37 Tahun 2006 merusak semangat desentralisasi fiskal yang menjadi item penting dalam era otonomi. PP ini cenderung merusak sistem keuangan daerah, menimbulkan kerugian pembangunan daerah dan sangat berpotensi menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan. (iii) PP No 37 Tahun 2006 dalam pelaksanaannya menempatkan pihak pembuat dan pelaksana PP ini ke dalam delik korupsi. Presiden sebgai pembuat PP ini, delik korupsi merupakan salah satu pintu masuk untuk pemakzulan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 7B Ayat (1) UUD 1945, sebab PP ini telah memenuhi tiga unsure kumulatif terjadinya tindak korupsi, yaitu melanggar hukum, memperkaya orang lain dan merugikan keuangan negara.
Terhadap PP No 37 Tahun 2006, kata Denny Indrayana SH LLM PhD, tidak cukup hanya melakukan revisi. Lebih dari itu, dibutuhkan langkah-langkah untuk mencabut PP tersebut dengan segera.
“Dari kajian secara menyeluruh, ditinjau dari aspek sistim politik, ekonomi, administrasi sisi pengawasan, pidana yang dibagi dalam 3 komisi, komisi politik perundang-undangan, komisi ekonomi dan komisi anti korupsi, dihasilkan draft setebal 40 halaman. Draft tersebut akan kami sampaikan pada hari kamis (1/2) ke istana presiden, KPK dan Jaksa Agung,†ujar Bung Denny di PuSKAT FH UGM, Senin, (29/1).
Dr Pratikno MSoc Sc menambahkan, kehadiran PP No 37 Tahun 2006 sesungguhnya telah mencederai proses demokrasi di Indonesia. Karena proses pembuatan PP tidak melibatkan partisipasi dari masyarakat.
“Bisa dilihat, reaksi muncul justru ketika PP ini keluar,†ujar Bung Pratik.
Pernyataan hampir sama disampaikan Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc, bahwa PP 37 Tahun 2006 berakibat pada fiskal anggaran pemerintah. PP ini membawa pada kontribusi ekonomi yang tidak merata.
“bahkan PP ini berefek pada perubahan anggaran berbasis kinerja,†jelas Prof Edy.
Sementara, kata Saldi Isra, perlu langkah untuk mengingatkan kembali pembuat maupun pelaksana PP No 37 Tahun 2006. PP ini, kata dia, mendorong ke jurang kehancuran yang berujung pada krisis ketatanegaraan, khususnya presiden sebagai pemegang tampuk pemerintahan tertinggi.
“Jika tidak dicabut, berarti presiden telah nyata-nyata memenuhi delik korupsi sehingga membuka pintu untuk dimakzulkan. Demi menghindari krisis ketatanegaraan, kami mendorong presiden untuk sesegera mungkin mencabut PP 37 Tahun 2006. itulah satu-satunya cara untuk menutup pintu kemakzulan,†tandas Isra, staf pengajar universitas Andalas Padang.
Adapun draft yang akan dikirim sebagai masukan kepada pemerintah ditandatangani 13 anggota Forum Experts Meeting PP 37 Tahun 2006, antara lain: Prof Dr Mahfud MD, Prof Dr Edy Suandi Hamid MEc, Dr Pratikno MSoc Sc, Dr Werry Darta Taifur SE MA, Denny Indrayana SH LLM PhD, Dr Marwan Mas SH MH, Wihana Kirana Jaya MSE, Enny Nurbaningsih SH MH, Saldi Isra SH MPA, Eddy OS Hiariej SH MH, Iwan Satriawan SH MCL, Zainal Arifin Mochtar SH LLM dan Dadang Trisasongko SH LLM. (Humas UGM).