Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Sayangnya, hingga saat ini Indonesaia belum memiliki indikator nasional untuk mengukur aktivitas konservasi keanekaragaman hayati yang dimiliki.
Padahal, menurut Dekan Fakultas Biologi UGM sekaligus Ketua Konsorsium Biologi Indonesia (KOBI), Prof. Dr. Budi S. Daryono., M. Agr., Sc., Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) sangat diperlukan untuk mengukur tren biodiversitas nasional. Data IBI ini dibutuhkan untuk mendorong pemerintah pusat dan daerah lebih giat melakukan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia.
Ia mengatakan meskipun sebelumnya Indonesia menerapkan Convention on Biodiversity (CBD) dan Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai landasan aksi konservasi hayati. Namun, status dan tren penurunan populasi masih terus berlanjut dan kian memprihatinkan. Kondisi itu terjadi akibat pertumbuhan penduduk dan peningkatan jumlah konsumsi serta perdagangan beragam tumbuhan dan satwa liar sebagai salah satu komoditas.
Tren penurunan keanekaragaman hayati, dikatakan Budi, tidak hanya terjadi di tanah air saja. Penurunan keanekaragaman hayati juga terjadi di tingkat global. Data Living Planet Index (LPI) tahun 1970 – 2016 menyebutkan bahwa persentase rerata penurunan populasi pada mamalia, burung, amfibi, reptil dan ikan mencapai 68 persen di dunia.
“Untuk itu penting menginisasi Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) ini untuk mengukur tren biodiversitas nasional,” tandasnya, Selasa (24/11).
Indeks biodiversitas atau indeks keanekaragaman spesies merupakan indeks yang menyatakan susunan ekosistem dan komunitas penyusunnya serta kestabilan suatu ekosistem. Indeks ini tidak hanya berupa makna, namun mengandung nilai dan konsep pelestarian keanekaragaman hayati di dunia. Dunia internasional menyebutnya sebagai global living index yang merupakan hasil kolaborasi peneliti biodiversitas internasional dengan lembaga konservasi global.
Mengingat pentingnya menghimpun data keanekaragaman hayati nasional ini, KOBI melalui Komite Indeks Biodiversitas Indonesia (IBI) menginisiasi IBI. Upaya tersebut dilaksanakan bertepatan dengan peringatan Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional pada 5 November 2020 lalu.
Selain IBI, Budi menyebutkan perlunya dikembangkan Bioeconomy yaitu sistem ekonomi hayati yang berbasis pada produksi sumber daya hayati terbarukan. Selain itu, konversi sumber daya alam dan limbah produksinya menjadi suatu produk yang bernilai tinggi dengan menerapkan prinsip ekonomis sirkular untuk meminimalkan penggunaan sumber daya serta energi agar diperoleh hasil yang optimal dan menekan kerusakan lingkungan.
Penulis: Ika
Foto: Shutterstock.com