Kecurangan di organisasi pemerintahan berbeda dengan organisasi swasta. Tipe kecurangan yang terjadi di organisasi pemerintah adalah berbentuk korupsi dan untuk beberapa kasus di Indonesia secara proposional korupsi banyak terjadi pada pemerintah daerah kabupaten, kota, dan provinsi.
Dari berbagai kasus korupsi, kasus korupsi berasal dari tingkat kabupaten dan kota menduduki peringkat pertama. Berbagai kasus korupsi yang terjadi bisa dilaporkan melalui whistleblowing. Whistleblowing ini merupakan pelaporan yang dilakukan oleh anggota organisasi tentang praktik yang salah, tidak legal dan tidak bermoral kepada pihak lain atau organisasi yang dapat memengaruhi Tindakan.
“Dengan adanya pelaporan tersebut maka kesalahan yang terjadi dapat segera diidentifikasi dan diperbaiki sehingga meningkatkan efisiensi, peningkatan moral karyawan, serta berpotensi menghindari reputasi negatif dan konsekuensi keuangan dari tuntutan hukum. Dengan demikian, ada nilai sosial yang besar bagi organisasi dan masyarakat pada umumnya,” ujar Priyastiwi, SE, M.Si, Ak., CA, saat ujian terbuka program doktor bidang ilmu ekonomi FEB UGM, Jumat (4/12).
Dalam ujian secara daring, dosen STIE Widya Wiwaha ini menyebut laporan ACFE tahun 2020 menunjukkan pada organisasi yang menyediakan layanan hotline mampu mendeteksi kecurangan berkisar 49 persen. Dari deteksi dan pelaporan kecurangan tersebut, sebanyak 54 persen dilaporkan oleh karyawan yang memperoleh pelatihan untuk deteksi kecurangan.
“Untuk itu, layanan hotline pelaporan kecurangan menjadi penting dalam mendeteksi kecurangan. Setiap organisasi yang menyediakan hotline yang bersifat anonim bisa dijadikan sebagai media untuk melaporkan kecurangan atau kesalahan yang terjadi,” ucapnya.
Dalam konteks organisasi publik di Indonesia, kata Priyastiwi, pelaporan korupsi dapat dilakukan dengan cara melaporkan kepada lembaga-lembaga yang diberi wewenang untuk menyelesaikan kasus-kasus whistleblowing. Lembaga-lembaga tersebut meliputi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Lembaga Ombudsman Republik Indonesia, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, dan PPATK. Meskipun lembaga yang menerima laporan sudah ditetapkan, tetapi perlindungan terhadap pelapor belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang jelas dan spesifik.
Oleh karena itu, melalui disertasi Pengaruh Jaminan Perlindungan, Risiko Kesalahan, dan Mediasi Kepercayaan Terhadap Pelaporan Kecurangan Pada Saluran Pelaporan Anonim, Priyastuti ingin menguji pengaruh sertifikasi dan kualitas jaminan perlindungan terhadap niat melaporkan kecurangan pada organisasi pemerintah di Indonesia. Selain itu, dalam penelitiannya ingin menguji pula pengaruh sertifikasi dan kualitas jaminan perlindungan yang diberikan kepada whistleblower terhadap niat melaporkan kecurangan yang dimediasi oleh variabel kepercayaan.
Disebutnya, terkait ketentuan tentang perlindungan whistleblower (pelapor) di Indonesia terdapat pada Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 tahun 2006. Peraturan perlindungan pelapor pelanggaran juga harus dibedakan dari undang- undang dan kebijakan tentang perlindungan saksi.
Menurutnya, ada beberapa tumpang tindih di antara keduanya, pelapor seharusnya lebih menekankan kerahasiaan identitas individu, sedangkan perlindungan saksi biasanya melibatkan perlindungan fisik individu yang akan bersaksi dalam suatu kasus. Dalam whistleblowing, tidak boleh merugikan karier dan kepentingan individu di tempat kerja.
“Fokus whistleblowing adalah pada informasi, bukan orang yang melakukan pengungkapan. Mereka seharusnya tidak diminta menjadi saksi tetapi diminta hanya pengamat setelah pelaporan dilakukan,” katanya.
Lebih lanjut, Priyastuti menjelaskan, kecurangan mempunyai tingkat risiko yang berbeda, oleh karena itu penelitian yang ia lakukan juga menguji pengaruh risiko kesalahan terhadap niat melaporkan kecurangan. Untuk itu, penelitian yang ia lakukan dengan menggunakan dua eksperimen berbasis internet dengan partisipan mahasiswa magister dan karyawan.
Ekeperimen 1 menguji pengaruh sertifikasi jaminan perlindungan dan risiko kesalahan terhadap niat pelaporan kecurangan. Adapun eksperimen 2 menguji pengaruh kualitas jaminan perlindungan dan risiko kesalahan terhadap niat pelaporan keuangan, dan untuk menguji hipotesis yang dibangun maka dipergunakan Analysis of Variance (ANOVA).
Untuk menguji hipotesis yang dibangun maka dipergunakan Analysis of Variance (ANOVA). Selain itu, penelitian ini juga menggunakan analisis jalur untuk menguji pengaruh mediasi kepercayaan terhadap hubungan antara sertifikasi dan kualitas jaminan perlindungan terhadap niat pelaporan.
“Hasil penelitian menunjukkan bahwa sertifikasi dan kualitas jaminan perlindungan berpengaruh terhadap niat melaporkan kecurangan yang dimediasi oleh kepercayaan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan efek interaksi antara risiko kesalahan dengan sertifikasi dan kualitas jaminan perlindungan terhadap niat pelaporan signifikan,” katanya.
Dari penelitian ini ditemukan pada kondisi risiko kesalahan tinggi, perbedaan niat pelaporan antara tidak ada dan ada sertifikasi jaminan perlindungan akan lebih kecil dibandingkan dengan ketika risiko kesalahan rendah. Selain itu, pada kondisi risiko kesalahan tinggi, perbedaan niat pelaporan antara kualitas jaminan perlindungan yang tinggi dan rendah lebih kecil dibandingkan dengan ketika risiko kesalahan rendah.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kompas Megapolitan