Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah Komisi Perwakilan Kejaksaan/ Kepolisian. Keharusan politik aliran lembaga kejaksaan atau kepolisian di KPK merupakan pandangan yang tidak mendasar, karena tidak memiliki landasan hukum dan sosiologis.
Demikian penegasan Pusat Kajian Anti Korupsi (PuKAT) UGM berkaitan perkembangan proses seleksi komisioner KPK, hari Rabu (12/9) di kampus UGM. Pernyataan disampaikan Denny Indrayana SH LLM PhD didampingi Eddy OS Hiariej MHum dan Zaenal Arifin Mochtar SH LLM.
Hal lain yang ditegaskan PuKAT UGM adalah unsur kejaksaan atau kepolisian tidak dibutuhkan dalam kapasitas komisioner. Kejaksaan dan kepolisian cukup sebagai perwakilan di bagian urusan penyidikan dan penuntutan di KPK. Selain itu, panitia seleksi KPK jangan sampai terjebak dengan keharusan adanya representasi kepolisian atau kejaksaan di tubuh KPK.
“Kitapun berharap seluruh elemen masyarakat untuk terus memantau proses seleksi ini hingga selesai nanti,†ujar Denny Indrayana.
Denny mengungkapkan, perkembangan proses seleksi komisioner KPK telah menunjukkan gejala yang cukup memprihatinkan. Meski proses seleksi dinilai lebih transparan dengan melibatkan civil society, namun gejala adanya politik perwakilan lembaga kejaksaan dan kepolisian menjadi hal yang perlu disikapi.
“KPK memang memerlukan unsur kejaksaan dan kepolisian di lembaga itu. Khususnya ketika KPK memerlukan beberapa konsep teknis perihal penyidikan dan penyusunan tuntutan,†ujarnya lagi.
Denny pun mengakui, kemampuan teknis kedua lembaga tersebut cukup membantu KPK. Namun, ia mengingatkan bahwa untuk jabatan komisioner tidak membutuhkan sosok jaksa atau polisi.
“Apalagi sebagai komisioner yang memegang kewenangan menggerakkan KPK, sosok jaksa dan atau polisi aktif sangat diragukan kredibilitasnya. Harus diingat, KPK berdiri seiring dengan kepercayaan rendah terhadap lembaga kejaksaan dan atau kepolisian,†tambah Denny. (Humas UGM).