Penyakit infeksi kembali menjadi perhatian dunia dengan merebaknya wabah virus corona di tahun 2019. Terjadinya infeksi, muncul atau tidaknya gejala dan juga tingkat keparahannya merupakan hasil dari interaksi antara mikroorganisme dengan sistem kekebalan tubuh seseorang. Hal ini menyebabkan walaupun sekelompok orang berada pada lingkungan yang sama, tidak semuanya terpapar penyakit dan jika pun terpapar, tingkat keparahannya dari masing-masing individu bisa bervariasi.
Penanganan infeksi dilakukan dengan menggunakan vaksin sebagai bagian dari pencegahan spesifik serta antibiotik sebagai bagian dari pengobatan. Namun, kurang bijaknya penggunaan antibiotik oleh masyarakat maupun tenaga kesehatan, selain juga merupakan kemampuan alami dari mikroorganisme untuk mempertahankan diri dan populasinya melalui mutasi genetik. Mutasi sendiri bisa dikatakan sesuatu yang tidak terhindarkan sehingga yang dilakukan dengan memengaruhi “sifat sosial” dari mikroorganisme.
Untuk mengatasi infeksi ini bisa dilakukan dengan modulasi interaksi sosial mikroorganisme. Oleh karena itu, biofilm menjadi salah satu produk sosial mikroorganisme. Biofilm terbentuk oleh komunitas mikroorganisme yang menempel pada suatu permukaan dalam lingkungan berair.
Penelitian yang dilakukan Dosen Farmasi UGM, Prof. Dr. Triana Hertiani, M.Si., Apt., menemukan bahwa kekayaan alam pada sumber daya laut kita bisa menjadi sumber dalam pengambilan senyawa antibiofilm. Namun begitu, kendala dalam memperoleh bahan baku dalam jumlah besar karena belum banyak kekayaan laut untuk sumber bahan baku obat. Menurutnya, penelitian yang ia lakukan pada spons Angelas nakamurai di perairan Bali menunjukkan adanya berbagai senyawa yang berkhasiat sebagai antibakteri, antibiofilm, antifouling sekaligus sitotoksis.
“Seperti kita ketahui spons tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari keberadaan mikroorganisme di sekitarnya. Namun, hal yang dapat dilakukannya dengan melakukan mekanisme kontrol sebagai keharusan untuk kelangsungan hidup,” kata Prof. Dr. Triana Hertiani, M.Si., Apt., dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar dalam bidang Biologi Farmasi, Fakultas Farmasi UGM, Kamis (11/2), di ruang Balai Senat, Gedung Pusat UGM.
Selain pengembangan senyawa obat dari laut, Triana Hertiani juga mengembangkan antibiofilm dari seleksi tanaman obat. Menurutnya, tanaman asli Indonesia lainnya yang potensial dikembangkan sebagai antibiofilm adalah kulit batang mayosi. Selain itu, minyak atsiri juga terbukti efektif sebagai antibiofilm. Sebab, menurutnya dari sifat fisisnya, kata Triana, minyak atsiri merupakan metabolit tanaman yang bersifat nonpolar dan mudah menguap. Minyak atsiri sendiri dapat diperoleh dari berbagai bagian tumbuhan misalnya dari kulit kayu seperti kayu manis dan mayosi. “Adapun dari bunga seperti mawar, melati, kenanga dan kuncup bunga cengkeh serta dari daun seperti kayu putih,” katanya.
Ia menjelaskan di habitatnya minyak atsiri dapat dihasilkan oleh tumbuhan secara terus menerus ataupun sebagai respons terhadap fitopatogen. Saat ini beberapa senyawa kimia tumbuhan yang potensial sebagai antibiofilm tersebut telah dimanfaatkan pada berbagai produk kesehatan oral.
Menurutnya, penelitian senyawa antiinfeksi ini dapat memodulasi interaksi mikroorganisme dalam bentuk biofilm perlu dilakukan pengujian pada kultur polimikroba. Namun begitu, intervensi pada komunitas sosial mikroorganisme menggunakan bahan dari alam yang secara alami diharapkan dapat menjadi salah satu strategi jitu dalam pengentasan masalah infeksi di masa sekarang dan yang akan datang.
Penulis : Gusti Grehenson