Dosen Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. Satibi, M.Si., Apt., dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Manajemen Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Kamis (18/2), di Balai Senat. Pada pidato pengukuhan jabatan guru besar yang berjudul Menjamin Ketersediaan Obat pada Era Jaminan Kesehatan Nasional, Satibi mengatakan di era jaminan Kesehatan nasional (JKN), perencanaan kebutuhan obat masih menjadi kendala. Meski setiap fasilitas kesehatan diwajibkan untuk membuat rencana kebutuhan obat, namun rencana yang dibuat itu masih belum menggambarkan kebutuhan riil dari fasilitas kesehatan yang ada, namun hanya sebatas formalitas pelaporan saja.
“Perencanaan obat di faskes ini akan berhubungan dengan data rencana kebutuhan obat yang dihimpun kementerian kesehatan. Akan tetapi saat ini koordinasi data antar fasilitas kesehatan dengan kementerian belum akurat,” kata Satibi.
Ia menyebutkan rata-rata ketersediaan obat yang cukup tinggi di Indonesia ada di Jawa Timur yakni 22,5 bulan. Hasil ini menunjukkan tingkat ketersediaan obat melebihi standar yakni 12-18 bulan. Tingginya angka masa ketersediaan obat ini menurutnya ada penumpukan persediaan yang terjadi di gudang instalasi farmasi. Jika daerah mengalami penumpukan, daerah lain yang mengalami stok kosong atau kurang apabila dibiarkan secara terus menerus akan mengganggu pelayanan kefarmasian di puskesmas. “Pasien yang tidak mendapatkan obat akan menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada puskesmas dan hilangnya kesempatan puskesmas untuk mendapatkan keuntungan. Dampak bagi pasien, berisiko tidak dapat sembuh dan menurunkan kualitas hidup pasien,” katanya.
Menurutnya, beberapa faktor yang memengaruhi ketersediaan obat di fasilitas kesehatan yakni faktor dokter, pasien dan tenaga farmasi. Di era JKN, dokter sebagai penulis resep pada praktik pelayanannya diharapkan dapat menerapkan dan patuh terhadap pedoman pengobatan dan formularium serta peresepan generik obat e-catalogue.
Sementara dari sisi tenaga kefarmasian, terutama apoteker memengaruhi pelayanan kefarmasian langsung dan bertanggung jawab kepada pasien serta menjamin ketersediaan obat yang bermutu, berkhasiat dan aman sehingga dapat mendukung penggunaan obat yang rasional dan keselamatan pasien. Meski demikian, keberadaan apoteker di fasilitas kesehatan terutama puskesmas saat ini masih sangat rendah. Ia menyebutkan sebanyak 17,5 persen puskesmas di Indonesia yang memiliki apoteker dan sekitar 32,2 persen puskesmas bahkan tidak memiliki tenaga kefarmasian sama sekali. Kurangnya tenaga farmasi yang sesuai kompetensi sebagai pengelola obat menyebabkan terbatasnya kewenangan pengelolaan obat menjadi terbatas. “Hanya pada tugas meracik dan menyerahkan obat ke pasien serta tidak dapat mengelola obat secara mandiri setelah implementasi JKN,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto: Vino