Pandemi yang merebak secara global pada tahun 2020 mengubah banyak hal dalam kehidupan akademik. Demikian pula bagi Fakultas Ilmu Budaya UGM yang tengah memperingai puncak Dies ke-75 atau lustrum ke-15.
“Banyak program tidak berjalan, banyak program dipaksa untuk bertransformasi secara mendadak, dan kita semua dalam masa satu tahun harus bergulat dalam banyak ketidakpastian,” ujar Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., DEA saat menyampaikan laporan Dekan FIB UGM pada puncak Dies ke-75 secara daring, Rabu (3/3).
Ia menyampaikan tertundanya program-program, di satu sisi membawa konsekuensi penurunan capaian-capaian yang sudah direncanakan, tetapi di sisi lain secara mengejutkan justru memacu perkembangan capaian pada bidang atau kegiatan yang lain. Laporan dekan pada tahun 2021 ini akan mudah diingat karena tahun ini merupakan ulang tahun FIB UGM yang ke-75 atau Lustrum ke-15.
“Pada saat yang bersamaan ini adalah kali pertama pidato dies ini tidak saya baca di depan Forum Sidang Senat Terbuka FIB UGM secara tatap muka langsung, tetapi melalui media secara daring,” ucapnya.
Wening mengakui tantangan paling besar pada masa pandemi adalah dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Sistem perkuliahan daring menjadi hal baru bagi pihak-pihak yang belum familier dengan teknologi online. Banyak kegiatan perkuliahan harus mengalami perubahan metode pembelajaran.
“Tapi banyak pula hasil kegiatan yang dampaknya akan terlihat tidak pada tahun 2020. Sebagai contoh masa studi kemungkinan dampaknya baru akan terlihat jelas pada tahun-tahun berikutnya mengingat banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan-kesulitan akses pembelajaran,” tuturnya.
Meski menghadapi tantangan baru, rerata lama masa studi mahasiswa S1 justru mengalami sedikit perbaikan dibandingkan 3 tahun sebelumnya dengan angka 4.88 tahun. Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia memiliki masa studi tercepat yakni 4.48 tahun.
“Lama masa studi program ini juga termasuk salah satu yang paling konsisten selama 4 tahun ini yakni berkisar pada angka 4.49 tahun. Oleh karena itu, selamat kepada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia atas pencapaiannya,” katanya.
Soal profil penerimaan mahasiswa baru program sarjana selama 3 tahun terakhir, imbuh Wening, dari data terlihat beberapa program studi masih tetap menjadi program terpopuler meskipun masa pandemi terjadi pada tahun 2020. Selama 3 tahun berturut-turut, Program SAtudi Pariwisata, Sastra Inggris, Antropologi, serta Bahasa dan Kebudayaan Korea diminati lebih dari 2.000 mahasiswa.
Tingkat selektivitas program-program tersebut juga masih sangat tinggi di masa pandemi. Sementara itu, secara keseluruhan tingkat registrasi mahasiswa baru semua program studi di Fakultas Ilmu Budaya sangat tinggi.
“Hanya ada rata-rata 2 sampai 3 mahasiswa per program studi yang tidak melakukan pendaftaran ulang,” ungkapnya.
Dalam laporannya, ia mengatakan untuk program magister, rerata IPK selama 5 tahun terakhir ini berkisar pada angka 3.56. Pada tahun 2020, rerata IPK tertinggi dicapai oleh Program Studi Magister Pengkajian Amerika dengan angka 3.68. Sementara rerata lama masa studi 5 tahun terakhir ini adalah 2 tahun 7 bulan.
“Pada tahun 2020 rerata lama masa studi terpendek dicapai oleh Program Studi Magister Antropologi yakni 2 tahun 1 bulan,” ucapnya.
Terkait dengan penerimaan mahasiswa baru program magister, setiap tahun ada lebih dari 180-an mahasiswa baru yang diterima di program magister FIB UGM. Selama 5 tahun terakhir, Program Magister Linguistik dan Magister Sastra adalah penyumbang tertinggi jumlah mahasiswa baru FIB UGM. Satu hal yang cukup menggembirakan adalah bahwa Program Linguistik masih memiliki pendaftar yang cukup besar selama masa pandemi 2020.
“Pada tahun 2019, Fakultas Ilmu Budaya UGM memiliki program baru di tingkat pascasarjana yakni program Magister Kajian Budaya Timur Tengah. Mulai tahun 2020 program ini menerima mahasiswa baru. Sungguh suatu hal yang menggembirakan bahwa jumlah animo yang masuk di program baru ini cukup tinggi yakni 18 orang,”jelasnya.
Selain menyampaikan perkembangan dan capaian akademik, dalam laporan pada puncak Dies ke-75 kali ini dekan FIB juga menyampaikan capaian publikasi dan tata kelola keuangan fakultas. Diakuinya, pada awal pandemi menyebabkan kegamangan dan situasi tekanan psikologis yang luar biasa sehingga banyak kegiatan yang sudah direncanakan tidak terlaksana.
Protokol-protokol kesehatan yang ketat sebagai antisipasi penyebaran Covid-19 telah menyebabkan banyak kegiatan yang melibatkan massa dibatalkan. Merujuk kinerja keuangan tahun 2020 tersebut maka FIB UGM akan melakukan evaluasi internal dan kemudian menetapkan strategi-strategi yang lebih sesuai dengan kondisi kenormalan baru di era pandemi Covid-19.
“Kita berharap, semua elemen FIB UGM siap dan bersiap dengan skenario-skenario pelaksanaan kegiatan yang akan selalu dievaluasi untuk menyesuaikan dengan perkembangan kebijakan pengendalian epidemi di UGM,” imbuhnya.
Sementara itu, Dr. Pudjo Semedi Hargo Yuwono., M.A dalam orasi ilmiahnya menyampaikan pidato berjudul Tragedy of The Private : Pencurian Harta Perusahaan di Perkebunan. Ia mengatakan bagi orang-orang perkebunan di Indonesia ketimpangan hubungan pasar global pos-kolonial nyaris tiada beda dengan pemerasan. Negara-negara bekas jajahan terpaksa mengeksporasi komoditas perkebunan agar mendapatkan devisa yang memungkinkan mereka belanja produk luar negeri.
Nasionalisasi juga telah mendongkrak praktik penyalahgunaan aset perkebunan. Atas nama demokrasi dan keadilan sosial, pemerintah Indonesia mematok gaji direktur, administrator dan sinder dengan standar upah pegawai negeri yang tidak seberapa.
“Kebijakan ini telah menyempitkan kesenjangan upah antara lapisan atas dan bawah di perkebunan, akan tetapi juga menjadi insentif bagi administrator dan sinder untuk menutup gaji rendah mereka dengan mengambil secara ilegal aset perusahaan,” katanya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto