Lingkungan laut telah menjadi sumber senyawa alam dan obat-obatan yang menjanjikan untuk penggunaan terapeutik. Laut memiliki variasi struktural senyawa dan aktivitas farmakologi yang sangat beragam. Laut dengan keanekaragaman organisma yang besar merupakan sumber bioprospektif untuk pencarian obat baru yang sangat potensial.
Demikian rangkuman penutup pidato Prof. Dr. apt. Erna Prawita Setyowati, M.Si saat dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar dalam Bidang Biologi Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Kamis (25/3). Dalam pengukuhan yang berlangsung di Balai Senat UGM, ia menyampaikan pidato berjudul Senyawa Alam Sebagai Sumber Obat Dari laut: Harapan dan Tantangan.
“Judul tersebut saya pilih berdasarkan perjalanan karier, pendalaman keilmuan, pengajaran serta kegiatan yang terkait dengan Marine Natural Product,” ucap Erna Prawita.
Menurutnya, lebih dari 30 persen obat yang digunakan sekarang ini merupakan senyawa alam yang diperoleh dari daratan. Di dalam laut yang menutupi hampir 70 persen luas permukaan bumi terdapat sekitar 200 ribu organisma laut yang hadir sebagai sumber penemuan senyawa baru yang sangat potensial untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi obat.
Dewasa ini, sebutnya, lebih dari 300 ribu senyawa alam berhasil diisolasi dari organisma laut dan banyak diantaranya digunakan sebagai bahan aktif produk farmasi. Sejak tahun 2008, lebih dari 1000 senyawa baru ditemukan tiap tahun.
“Senyawa-senyawa tersebut dicirikan oleh kebaruan struktural, kompleksitas dan keragamannya yang umumnya tidak ditemukan dalam produk alami terrestrial, dan sampai tahun 2018 berbagai obat atau kandidat obat yang berasal dari laut ini telah diuji dalam berbagai fase uji klinis,” terangnya.
Erna mengungkapkan lebih kurang 15 ribu jenis spons telah diuraikan dan hampir 98 persen jenis spons hidup di laut dan dapat ditemukan di seluruh kawasan katulistiwa sampai ke kutub. Tercatat Australia, Indonesia dan Papua Nugini sebagai daerah habitat spons yang paling besar di dunia. Secara geografis spons menyebar di 31 negara dan sebagai kontributor utama spons adalah Korea, Jepang, Australia, Cina, Papua Nugini dan Indonesia.
Sayangnya, sebagai negara kelautan, penelitian dan pemanfaatan spons di Indonesia masih sangat kurang. Padahal, di Museum Amsterdam terdapat lebih kurang 5000 jenis spons yang sebagian besar dikumpulkan dari wilayah Bali, Sulawesi, Kalimantan Timur, Kepulauan Maluku, Kai, Aru dan Kepulauan Nusa Tenggara serta sebagian dari timur Laut Jawa.
Expedisi Snellius II (1984-1985) menunjukkan Indonesia sebagai pusat penyebaran spons di Pasifik Barat Indonesia. Meski Indonesia merupakan sumber spons yang sangat baik, kebanyakan penelitian soal ini dilakukan oleh ilmuwan dari negara lain.
Menurutnya, hal ini dapat dimengerti karena penelitian mengenai sumber daya alam kelautan perlu biaya yang tidak sedikit. Belum lagi minimnya sumber daya manusia yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyelaman.
“Karenanya eksplorasi senyawa baru dari laut juga bergantung pada pendanaan dan kebijakan pemerintah, minat dan investasi industri, fasilitas penelitian, keahlian ilmuwan, fasilitas infrastruktur dan laboratorium, peralatan, mesin dan dukungan kelembagaan,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto