Komponen primer dan sekunder kayu dengan perlakuan panas dan kimiawi dapat menghasilkan produk kimia yang sangat bervariasi dan bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, sesuai dengan slogan “kayu untuk kehidupan (wood for life)” suatu saat nanti diyakini masyarakat akan menyambut adanya zaman kayu (the wood age).
Seperti juga di zaman dulu dimana orang mengenal adanya zaman batu, zaman besi, zaman perunggu dan lain-lain. Zaman kayu adalah kondisi zaman yang banyak mengandalkan teknologi berbahan baku kayu melalui konversi fisik atau kimia setelah era fosil berlalu.
“Fenomena ini bukanlah merupakan hal baru, mengingat puluhan ribu tahun lalu nenek moyang kita juga telah bergantung pada hutan dan produk hasil hutan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari meski dalam konteks berbeda,” ujar Prof. Dr. Ganis Lukmandaru, M.Agr., S.Hut saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Teknologi Hasil Hutan pada Fakultas Kehutanan UGM, di Balai Senat, Selasa (30/3).
Membacakan pidato pengukuhan berjudul Kayu Sebagai Penyedia Bahan Kimia Alami Ramah lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa Mendatang di Indonesia, Ganis mengatakan perlakuan kayu utuh menghasilkan produksi bahan kimia secara langsung adalah perlakuan yang sulit karena kompleksitas sifat transfer massa dan panasnya. Oleh karena itu, sebagai pendidik perlu menyiapkan sumber daya manusia yang andal dalam konversi termokimia dan reaksi enzimatis kayu untuk memperbaiki proses dan nilai tambah sehingga kayu sanggup berkompetisi dengan bahan berbasis fosil.
“Masih banyak spesies tumbuhan berkayu yang belum banyak diketahui dan dimanfaatkan. Kedepan, eksplorasi bahan baku kayu ini masih relevan untuk menghasilkan sumber-sumber baru produk kimia organik yang ramah lingkungan,” ucapnya.
Pada bagian akhir pidatonya, ia menyatakan bidang ilmu kimia kayu tidak bisa berdiri sendiri tetapi saling berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya, baik dalam rumpun ilmu kayu, ilmu kehutanan, dan disiplin ilmu di luar bidang tersebut. Sebagai contoh, di bagian hulu, penentuan bahan baku kayu yang sesuai sifat produk akhir akan memerlukan intervensi seleksi genetik dan perlakuan silvikultur untuk menghasilkan tegakan yang baik.
“Begitu pula dengan disiplin ilmu bioteknologi dan teknologi kimia di bagian hilirnya. Kolaborasi multidisiplin keilmuan serta fasilitas laboratorium yang memadai adalah keniscayaan sehingga Indonesia nantinya dapat menjadi pemain penting di kancah global dalam penelitian dan pengembangan teknologi bahan kimia alami yang ramah lingkungan,” paparnya.
Ganis menuturkan perkembangan teknologi kimia dan bioteknologi telah memungkinkan bahan kayu dimanfaatkan secara menyeluruh. Biorefining (pemurnian hayati) adalah konsep yang berasal dari pemurnian minyak bumi yang didefinisikan sebagai produksi bahan bakar atau bahan hayati dari biomassa berbasis bioteknologi.
Biorefining bahan kayu analog dengan refining minyak mentah dimana dengan fasilitas dan peralatan yang terintegrasi maka menghasilkan bahan bakar, energi dan bahan kimia. Dengan menghasilkan produk yang bermacam-macam secara teknis bisa dicapai keuntungan pada produk bervolume rendah dengan harga mahal atau volume besar tetapi harga rendah untuk bahan bakar alat transportasi dan listrik.
“Konsep biorefining atau biorefinery juga mencakup pengubahan biomassa ke bahan bakar hayati (bioetanol, biodiesel, dan biogas) dan produk sampingannya seperti bahan kimia hayati dan energi hayati (panas dan energi). Biorefining pemanfaatan dan eksplorasi ekstraktif dari kayu tentu saja memerlukan keahlian dalam ekstraksi, isolasi dan derivat yang memadai untuk mendapatkan senyawa maupun produk-produk alami baru,” ungkapnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto