Konstruksi legal korporasi memungkinkan korporasi tumbuh meraksasa dan memperluas operasinya melintasi batas-batas negara. Harapan korporasi dapat menjadi institusi yang mampu menjadi penyeimbang bagi keotoriteran lembaga negara kemudian justru menjelma menjadi kekhawatiran baru.
Demikian pernyataan Hendragunawan Sardjan Thayf, S.E., M.Si., M.Phil, dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Hasanuddin, saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Fakultas Filsafat UGM, Rabu (31/3).
“Kekhawatiran tersebut tersirat dalam pertanyaan institusi apa lagi yang mampu menjadi penyeimbang bagi dominasi kuasa korporasi ketika korporasi menjadi lebih besar dari negara-negara, padahal secara kodratnya korporasi juga tidak bersih dari tendensi otoritarianisme?,” katanya.
Mempertahankan disertasi berjudul Konsep dan Praksis Korporasi Dalam Tinjauan Mazhab Frankfurt, promovendus dalam ujiannya didampingi promotor Prof. Drs. Mukhtasar S., M.hum., Ph.D of Arts dan ko-promotor Dr. Supartiningsih. Ia menambahkan dalam terminologi Mazhab Franfurt, korporasi sebagai bentuk reifikasi relasi sosial manusia, dalam perkembangannya telah berbalik mendominasi manusia dan bahkan mendefinisikan manusia melalui produk-produk beserta iklan-iklannya.
Imperatif pertumbuhan modal, katanya, memengaruhi relasi korporasi dengan pihak-pihak lain seperti masyarakat, negara, karyawan dan lingkungan alam. Imperatif ini tentunya menimbulkan berbagai permasalahannya.
“Dalam perspektif Mazhab Frankfurt tema besar dari permasalahan-permasalahan itu adalah dominasi yang tersamarkan. Kerangka kritik yang dikembangkan dari gagasan-gagasan terpisah para pemikir Mazhab Frankfurt dapat digunakan untuk mengungkap selubung dominasi itu,” jelasnya.
Permasalahan yang muncul dalam relasi korporasi adalah dengan masyarakat (ideologisasi), dengan negara (konvergensi), dengan karyawan (otoritarianisme yang mengabaikan rekognisi dan justifikasi), dan dengan lingkungan alam (eksploitasi), dan permasalahan bukan sekedar bersifat kasuistis saja. Bahwa sumber permasalah terdapat dalam struktur dan hakikat keberadaan korporasi itu sendiri.
Oleh karena itu, katanya, kontrol eksternal berupa peraturan pemerintah maupun kontrol internal berupa pengenalan program Etika Bisnis dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan lebih merupakan tali kekang yang sewaktu-waktu dapat putus atau terlepas dari tangan pengendali. Akan tetapi tanpa kontrol itu maka daya rusak korporasi akan mewujud sebagai bencana bagi kehidupan bersama umat manusia.
“Tetapi masa depan tanpa korporasi bukanlah suatu kemuskilan. Sebagai suatu lembaga, korporasi telah mencapai kematangan bentuknya sejak pertengahan abad ke-19. Artinya, dalam masa yang panjang dari sejarah perekonomian, manusia pernah hidup tanpa korporasi,” ucapnya.
Lebih lanjut, Hendragunawan mengatakan sekian lama manusia telah memberikan toleransi kepada praktik eksploitasi korporasi selama para pengelolanya membayar pajak, semisal pajak pertambangan atas tindakan merusaknya. Manusia juga menoleransi masalah-masalah sosial yang berdampak langsung atau tidak langsung dari kehadiran korporasi selama entitas ini menjalankan program CSR.
“Keserakahan para kapitalis ini pun masih dimaklumi selama mereka menebusnya dengan sikap filantropis atau kedermawanan. Hanya saja yang lebih masuk akal adalah bagaimana mencari solusi yang tuntas hingga ke akar permasalahan dan berlaku untuk selamanya,” tandas Hendragunawan.
Penulis : Agung Nugroho