Konflik antar etnik rentan terjadi di Indonesia. Dan sejauh ini, Indonesia memang tercatat sering kali mengalami konflik horizontal tersebut. Diantaranya yang berskala besar adalah seperti di Poso (1998-2000), di Sampit (2001), serta Ambon (1999-2003) yang bahkan sampai menelan lebih kurang 10.000 orang korban jiwa.
Namun, apakah hal ini kemudian memberi arti bahwa masyarakat Indonesia belum sanggup membangun masyarakat memiliki kesatuan dan persatuan? Jawabannya ternyata adalah tidak. Sebab, menurut Dwi Septiwiharti, lulusan Program Doktoral Fakultas Filsafat UGM, konflik antar etnik yang terjadi di Indonesia sebetulnya disebabkan oleh semakin terpinggirkannya nilai-nilai kearifan lokal, dimana sebelumnya telah jauh ada untuk menjaga masyarakat dari konflik. Globalisasi adalah salah satu penyebab terpinggirnya nilai-nilai kearifan lokal tersebut.
Dengan latar belakang itu, Dwi Septiwiharti, melalui disertasi-nya, kemudian berupaya mengungkapkan kembali nilai-nilai kearifan lokal dari sebuah masyarakat yang diyakini berhasil berdikari menghindari diri mereka dari konflik antar etnik. Masyarakat yang dimaksudkan adalah Masyarakat Kaili yang bertempat di Provinsi Sulawesi Tengah. Masyarakat Kaili ini diketahui memiliki tingkat keberagaman yang tinggi yang ini dibuktikan dengan terdapatnya berbagai dialek bahasa dan karakteristik diantara mereka, namun tercatat tidak pernah mengalami konflik horizontal.
“Masyarakat Kaili itu tidak pernah ada konflik antar etnik. Mungkin kalau kita mendengar atau melihat di media masa (bahwa) banyaknya konflik-konflik yang terjadi di Sulawesi Tengah, tapi saya cukup berani mengatakan bahwa di dalam Masyarakat Kaili tidak ada konflik antar etnik,” tutur Dwi dalam diskusi Bedah buku: Budaya Sintuvu Refleksi Filosofis kearifan lokas Masyarakat Kaili yang disiarkan melalui kanal Youtube Kanal Pengetahuan Fakultas Filsafat UGM, pada Senin (7/6).
Menurutnya, keterhindaran Masyarakat Kaili dari koflik antar etnik disebabkan oleh keberadaan budaya sintuvu diantara mereka. Budaya Sintuvu sendiri merupakan budaya gotong royong atau kegiatan yang dilakukan oleh Masyarakat Kaili secara bersama-sama.
Dwi mengungkapkan Masyarakat Kaili telah terbiasa sejak dahulu untuk melakukan musyawarah (libu), mencari kemufakatan, dan lalu mengerjakan pekerjaan secara bersama-sama serta mempertanggungjawabkannya juga secara bersama-sama.
Lalu, apa yang membuat musyawarah mufakat dan kerja sama mereka berbeda? Jawabannya terletak nilai-nilai kearifan lokal yang melandasi budaya sintuvu tersebut. Nilai-nilai kearifan lokal itu telah dianut dan dijaga oleh setiap orang dalam masyarakat melalui ajaran-ajaran adat. Ada tujuh nilai-nilai yang berhasil diungkapkan oleh Dwi, antara lain adalah harmoni, kekeluargaan, semangat berbagi, solidaritas, musyawarah mufakat, tanggungjawab, dan keterbukaan.
Dengan menjalankan kehidupan berdasarkan nilai-nilai tersebut, masyarakat Kaili sejauh ini dapat menerima keberagaman. Mereka dapat bekerja sama dengan setiap orang walaupun berbeda etnik, asal usul, dan lain sebagainya.
“Bahwa siapa pun dan dari etnik mana pun yang datang dan tinggal di tanah Kaili akan diterima dengan baik, namun harus mengikuti semua peraturan keadatan Kaili,” tulis Dwi dalam publikasi hasil penelitiannya.
Permasalahan seputar perilaku atau konflik akan dikembalikan kepada wilayah adat. Sedangkan, permasalahan seperti kriminalitas, penyelesaiannya akan dilimpahkan ke wilayah hukum positif.
Menanggapi hasil penelitian Dwi tersebut, Guru Besar Antropologi UGM, Prof. Dr. Irwan Abdullah, berharap bahwa kearifan lokal dari Masyarakat Kaili selanjutnya dapat dipelajari oleh semua orang. Nilai-nilai yang menjaga masyarakat Kaili dari konflik antar etnik kemudian tidak lagi sebatas sebagai sebuah kearifan lokal, tapi selanjutnya juga sebagai bagian dari kecerdasan nasional sehingga keberhasilan mayarakat Kaili untuk menghindari diri dari konflik antar etnik juga bisa diraih dalam skala nasional.
“Saya ambil contoh yang sudah berhasil, masyarakat Minangkabau itu sudah berhasil mengubah kearifan lokalnya yaitu makanan Minang yaitu nasi Padang. Itu tadinya kan kearifan lokal, tapi dia bisa merubah rasa selera menjadi selera nasional karena kita semua bisa makan dan menerima nasi makan Padang, dimana pun di seluruh Indonesia ada nasi Padang,” tutur Prof. Irwan.
Penulis: Aji Maulana