Prof. Dr. Tjut Sugandawaty Djohan, M.Sc., Guru Besar Laboratorium Ekologi dan Konservasi Fakultas Biologi UGM, menuturkan saat ini perubahan iklim adalah krisis yang menentukan keadaan global. Menurutnya, perubahan atau krisis ini terjadi lebih cepat dari yang ditakutkan.
Menurut Tjut tidak ada sudut dunia yang kebal dari konsekuensi perubahan iklim yang menghancurkan. Dampaknya beragam mulai dari meningkatnya suhu memicu degradasi lingkungan, bencana alam, cuaca ekstrem, kerawanan pangan dan air, gangguan ekonomi, konflik.
Selain itu, permukaan laut naik, kutub mencair, criosfer mencair, terumbu karang mati, lautan menjadi asam dan hutan terbakar.
“Oleh karena itu, dunia harus bertindak. Prihatin tentang bahayanya perubahan iklim global, tahun 1997, 166 negara bertemu di Kyoto membuat janji untuk mereduksi CO2 emisi dan gas rumah kaca lainnya. Pada pertemuan tersebut disepakatilah Kyoto Protocol. Selain itu, UN (United Nation) juga tidak tinggal diam dan membentuk badan IPCC,” ujar Tjut Sugandawaty dalam webinar tentang krisis iklim, Minggu (27/6).
Indonesia merupakan bagian dari IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) yang dibuat untuk memberikan para pengambil kebijakan secara ilmiah tentang perubahan iklim, implikasinya dan potensi risiko di masa depan, serta untuk mengedepankan opsi adaptasi dan mitigasi.
Tjut Sugandawaty menambahkan, kerusakan ekosistem juga terjadi terus-menerus dan semua usaha telah dilakukan untuk merestorasi kembali ekosistem yang rusak. Pada tanggal 1 Maret 2019, di bawah Resolusi 73/284, Sidang Umum Perserikatan Bangsa-bangsa menyatakan bahwa tahun 2021-2030 sebagai Dekade PBB tentang Restorasi Eksosistem (2021-2030 the United Nations Decade on Ecosystem Restoration).
Ia menyebutkan terdapat beberapa usaha yang bisa dilakukan untuk mencegah krisis iklim.
“Secara sederhana, hal-hal yang bisa kita lakukan adalah dengan 3R (Reuse, Reduce dan Recyle) untuk berusaha tidak menggunakan plastik. Bawa botol minum sendiri, bawa piring sendiri ketika mau makan, Lalu apa hubungannya plastik dengan climate change? Plastik kan ketika dibuat prosesnya dibakar, lalu terkadang sampahnya juga dibakar. Ini menimbulkan masalah baru karena menghasilkan senyawa kimia yang dinamakan zat karsinogenik. Kyoto Protocol sudah mengatur tentang itu,” ujarnya.
Thalia V. Tamahagana, pemerhati lingkungan, juga mengajak anak muda untuk turut mengedukasi diri dan berkontribusi mengenai perubahan iklim yang terjadi. Contoh aksi yang bisa dilakukan adalah memakai produk lokal atau bisnis kecil, beralih ke zero waste living dan bergabung dengan komunitas pemerhati lingkungan.
Penulis: Desy