Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKK-MK) UGM, Prof. dr. Mora Claramita, MHPE., Ph.D.,Sp.KKLP., dikukuhkan sebagai Guru Besar pada bidang pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan, Kamis (1/7) di Balai Senat UGM. Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Pengejawantahan ‘Tut Wuri Handayani’ pada Pendidikan Kedokteran dan Profesi Kesehatan dalam Konteks Keberagaman Lintas Budaya, Mora Claramita menegaskan ilmu kedokteran merupakan salah satu cabang ilmu hayati yang mempelajari manusia dan hubungannya dengan penyakit, agen, dan lingkungan penyebab sakit, rasa sakit, pencegahan sakit dan pengobatan. Namun, melihat kembali pakem kurikulum dan asesmen pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan dari masa selalu sama. Padahal, kurikulum pendidikan kedokteran dan tenaga kesehatan di masa lalu kurang mempertimbangkan kemampuan yang saat ini dikenal dengan nama soft-skill atau keterampilan sosial.
“Saat ini standar pendidikan dokter Indonesia memberikan bekal kemampuan akan profesionalisme, komunikasi dan mawas diri selain kemampuan penguasaan keterampilan klinis dan pengelolaan masalah kesehatan,”kata Mora Claramita.
Mora Claramita menyampaikan bahwa Semboyan Tut Wuri Handayani yang diinisiasi oleh Ki Hajar Dewantara yang kini menjadi simbol Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI sudah ada sejak pada zaman kemerdekaan hingga sekarang. Dari semboyan itu seyogianya seluruh strata pendidikan di Indonesia termasuk pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan, mampu melaksanakan pendidikan berbasis komunitas, penggunaan sumber belajar berdasarkan budaya dan adat setempat serta magang klinis di bidang kedokteran dan profesi kesehatan yang sangat cocok dengan filosofi nyantrik ala Taman Siswa, namun perlu mengedepankan dialog dua arah antara guru dan murid demi membantu konstruksi dan pemaknaan belajar mahasiswa.
Lebih jauh ia menjelaskan, Tut Wuri Handayani (TWH) dalam hubungan dokter, profesi kesehatan dan pasien ditandai dengan pengembangan kemampuan komunikasi yang baik yang menghargai terhadap latar belakang budaya pasien. Oleh karena itu, para dokter dan tenaga kesehatan diajak untuk terbiasa melakukan sapa, ajak bicara dan diskusi untuk menjembatani budaya hierarkis dan kolektivistik. Sapa adalah komponen among dalam Tut Wuri Handayani yang berciri bahwa dokter dan tenaga kesehatan siap mendampingi pasien di kala sehat dan sakit. Ajak bicara adalah komponen momong dalam TWH yang berarti mengikuti cerita pasien, memahami persepsi pasien di kala sehat dan sakit.
“Sedangkan komponen diskusi adalah bagian dari ngemong yang berarti pengambilan keputusan klinis yang harus diputuskan oleh pasien setelah menerima penjelasan dari dokter dan tenaga kesehatan,” ujarnya.
Proses pengambilan keputusan klinis dalam budaya kolektivistik, kata Mora, lebih banyak dipengaruhi oleh faktor keluarga, teman dekat, bahkan tetangga dan komunitas sehingga kewajiban petugas kesehatan adalah menyampaikan hak individu pasien dalam membuat keputusan klinis.
Kebiasaan melakukan sapa, ajak bicara dan diskusi dengan pasien merupakan pendekatan terhadap budaya hierarkis dalam rangka penekanan pada kemampuan membangun hubungan baik dan kesetaraan antara petugas kesehatan-pasien.
“Tujuannya meminimalisasi kesenjangan status sosial dan menjalin hubungan saling menghormati dan saling percaya seperti yang dicontohkan oleh Ki Hajar Dewantara,” jelasnya.
Pendidikan kedokteran dan profesi kesehatan mengasuh mahasiswa yang berusia dua puluhan tahun. Artinya pendidikan tinggi setingkat sarjana dan profesi berhadapan dengan sekelompok remaja atau dewasa muda dengan segala sifat fisik dan mental yang belum sempurna namun sebentar lagi akan menjadi calon pemimpin bangsa. Oleh karena itu, proses belajar sepanjang hayat harus ditekankan sehingga evaluasi belajar mahasiswa untuk terbiasa melakukan sapa, ajak bicara dan diskusi juga perlu menjadi perhatian.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto