Departemen Ilmu Komunikasi UGM menyelenggarakan diskusi bertajuk “Perempuan dalam Revolusi Digital: Peta Permasalahan & Urgensi Literasi Digital. Buku terbitan UGM Press ini membedah soal “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem Hambatan dan Arah Pemberdayaan”.
Diskusi ini merupakan seri pertama dari tiga diskusi yang dirancang atas buku “Perempuan dan Literasi Digital” yang akan diselenggarakan Program Magister Departemen Ilmu Komunikasi UGM. Diskusi yang berlangsung secara daring ini mengundang editor dan dua penulis buku tersebut, yang kebetulan dosen di Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM, yaitu Rahayu, SIP, M.Si., MA, Dr. Novi Kurnia, M.Si., MA dan Dr. Widodo Agus Setianto, M.Si.
Hadir dan turut meramaikan diskusi yaitu pembahas dari Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba), Santi Indra Astuti, dosen sekaligus anggota Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi). Sementara bertindak selaku moderator adalah Astrid Permata Leona, alumnus Program Magister Dikom UGM.
Diskusi diawali pemaparan Rahayu selaku editor buku mengenai gambaran besar dari buku tersebut. Ia menyampaikan buku Perempuan dan Literasi Digital ini mengangkat relasi dan persoalan perempuan dengan media digital.
“Dalam melihat persoalan ini literasi digital dipandang oleh para penulis sebagai solusi penting,” ujar Kaprodi Magister di Dikom UGM.
Rahayu menjelaskan ada dua persoalan yang dihadapi perempuan saat ini. Pertama, berkaitan dengan kesenjangan digital, terutama berkaitan dengan penggunaan telepon seluler ke mobile internet dan media sosial. Kesenjangan ini terjadi di berbagai negara, terutama di negara dunia ketiga dan wilayah pedesaan. Kedua, adalah tentang gambaran perempuan di media.
“Perempuan, khususnya remaja banyak menggunakan media sosial sebagai referensi. Sayangnya, apa yang tersaji dalam media digital tidak selalu informasi yang benar,” jelasnya.
Menurut Rahayu gambaran diri perempuan di media tidak akurat dan sering menjadi objek eksploitasi. Media, menurutnya, sering dianggap tidak peka terhadap perempuan terutama ketika meliput isu-isu kekerasan dan lebih menonjolkan sisi sensasional.
Sementara itu, Novi Kurnia dalam paparannya menyebutkan posisi perempuan dalam konteks literasi digital dapat menjadi objek dan juga subjek karena perempuan memiliki identitas yang interseksional. Sebagai objek, perempuan kerap diposisikan sebagai khalayak sasaran beragam program literasi digital karena posisinya yang rentan.
Di sisi yang lain, katanya, perempuan sebagai subjek banyak ditemukan sebagai pegiat program literasi digital yang pemberdayaannya berdampak pada masyarakar luas. “Di Japelidi sendiri, 80 persen anggota yang aktif adalah perempuan,” ucap koordinator Nasional Japelidi ini.
Novi memetakan ada 13 dimensi yang berlaku sebagai faktor penyebab kesenjangan digital, yakni terkait akses, pendidikan, dan lain-lain. Menurutnya, jika pergerakan literasi digital dimulai dari dua dimensi saja, misalnya, kecakapan literasi digital dan pendidikan perempuan akan lebih banyak lagi memasuki ruang-ruang penting dalam pengembangan literasi digital di Indonesia.
Widodo Agus Setianto dalam paparannya menyebutkan tentang adanya perubahan signifikan pada data penggunaan internet di Indonesia selama satu dekade. Ia pun mempertanyakan soal kesiapan infrastruktur dan kesiapan masyarakat di tengah lonjakan penggunaan internet.
“Mengapa mempertanyakan itu, karena pemberdayaan perempuan melalui gerakan literasi digital menjadi penting dan menjadi solusi untuk menutup kesenjangan ini,” katanya.
Menurut pembahas dalam seri ini, Santi Indra Astuti, bernasnya buku ini dimulai sejak kata pengantar. “Kata pengantar itu sendiri sudah merupakan sebuah tulisan yang memetakan, bukan saja arah ke mana buku ini berjalan, tapi [merupakan] peta jalan dari literasi digital yang diinginkan untuk memberdayakan perempuan Indonesia,” ujarnya.
Santi selaku pembahas menambahkan peta literasi digital tidak bisa lagi bergantung pada faktor kepemilikan gawai, kompetensi fungsionalnya dan sebagainya, tetapi juga terkait dengan faktor sosio-kultural di lingkungan sekitar kita.
“Dengan adanya peta permasalahan ini ketika dikaitkan dengan indeks sosio-kultural kita, itu bisa menjadi amunisi untuk membuat gerakan yang game changer di tengah komunitas,” ujarnya.
Total ada 13 penulis yang mengangkat persoalan tentang perempuan dan literasi digital dengan tiga bagian utama. Bagian pertama adalah tentang potret persoalan perempuan dalam mengakses teknologi dan arti penting literasi digital dalam pemberdayaan perempuan.
Bagian kedua membahas tentang dimensi-dimensi pengetahuan dalam literasi digital dan lingkup kompetensi literasi digital. Bagian kedua akan dibahas di seri kedua diskusi Perempuan dan Literasi Digital pada 16 Juli 2021.
Sedangkan bagian terakhir memaparkan hasil riset lapangan tentang penggunaan media digital oleh perempuan dan kontribusi literasi digital dalam menjawab persoalan tersebut. Bagian ini akan dibedah bersama penulis-penulisnya pada seri ketiga, tepatnya pada 23 Juli 2021 mendatang.
Penulis : Agung Nugroho