Prodi Magister Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM menyelenggarakan diskusi buku bertajuk “Catatan Lapangan Perspektif dan Pengalaman Perempuan” pada Jumat, (23/7). Diskusi ini merupakan seri ketiga dari serial Diskusi Buku “Perempuan dan Literasi Digital: Antara Problem, Hambatan, dan Arah Pemberdayaan” terbitan UGM Press.
Pada diskusi seri terakhir ini, hadir tiga narasumber selaku penulis buku dan juga dosen di Dikom UGM. Mereka adalah Lidwina Mutia Sadasri, Mashita Fandia, dan Ardian Indro Yuwono. Hadir pula dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang, Frida Kusumastuti, sebagai pembahas buku.
Diskusi dimulai dari penjelasan Lidwina Mutia Sadasri tentang tulisannya yang berjudul “Melawan Information Disorder ala Aktivis Perempuan”. Gambaran umum tulisannya adalah tentang aktivisme dalam klub media sosial Perempuan Tagar Tegar (P#T) dalam melawan disinformasi yang muncul di seputaran isu feminisme.
Topik ini dipilih karena di tahun 2018 sempat melaksanakan riset tentang pernikahan dini dan menemukan akun Perempuan Tagar Tegar di Instagram. Uniknya, muncul akun sister-nya bernama Pria Tagar Tegar karena melihat relasi tidak setara yang dipengaruhi oleh kultur patriarki.
“Tidak hanya selama ini perempuan yang menjadi korban, tetapi laki-laki juga ada yang menjadi korban. Jadi, menarik untuk melihat di dua sisinya seperti apa,” ujar Mutia.
Selanjutnya, topik fenimisme digali lebih dalam oleh Mashita dalam tulisannya yang berjudul “Memaknai Feminisme: Studi Etnografi terhadap Gerakan Perempuan di Media Sosial.” Artikel ini berangkat dari temuan risetnya tentang gerakan perempuan di media sosial, khususnya Instagram, seperti pada akun Indonesia Feminis dan Lawan Patriarki.
Isu feminisme adalah isu yang sangat kompleks. Menurut Mashita, tidak hanya keterkaitannya dengan bagaimana perempuan mengalami penindasan dan juga ketidaksetaraan selama ini, tapi juga bagaimana patriarki membuat laki-laki tanpa sadar juga ditempatkan sebagai korban. Bahkan perempuan pun banyak yang tidak merasa telah menjadi korban.
“Itu saking sudah terinternalisasinya patriarki ke dalam kehidupan kita sebagai manusia. Kadang kita dihegemoni tapi kita senang-senang saja, seperti tidak merasa jika kita ditindas haknya sebagai manusia,” lanjutnya.
Yang menarik bagi Mashita dalam gerakan ini adalah komentar netizen tentang kesetaraan gender yang sangat terpolarisasi di kolom komentar akun-akun media sosial tersebut.
“Salah satu pokok perdebatannya adalah tentang feminisme. Banyak sekali kelompok masyarakat yang menilai feminisme bukan budaya Indonesia dan datang dari barat. Padahal nilai-nilai patriarki yang dianut sekarang semuanya adalah produk barat. Sementara apa sih yang kita sebut dengan budaya kita?” ujar Mashita.
Maka, lapisan-lapisan yang diulas pada tulisan Mashita adalah tentang bagaimana gerakan-gerakan ini serta para pengikutnya di media sosial mengonsepkan feminisme dan kesetaraan gender dalam konteks Indonesia.
Diskusi dilanjutkan oleh narasumber ketiga, Ardian, dengan tulisannya yang berjudul “Dita dan Rizka dalam Game: Kompetensi dan Relasi Sosial.”
Dari hasil temuan Ardian pada disertasinya, narasumbernya mampu memanfaatkan gim video sebagai media untuk berekspresi dan berkompetisi, bukan hanya untuk bersenang-senang. Hal ini memantik Ardian untuk lebih menggali dalam konteks literasi media.
“Gim video itu kan sama dengan media pada umumnya. Ada institusinya, ada kontennya, dan ada aksesornya yang disebut dengan gamer,” kata Ardian.
Dalam risetnya, jika dikaitkan dengan konteks 10 kompetensi literasi digital dari Japelidi, Dita dan Rizka, memiliki empat dari 10, di antaranya adalah akses, paham, partisipasi, dan kolaborasi.
Penulis: Desy