Dosen Departemen Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Yunia Irawati, Sp.M (K)., berhasil memperoleh gelar doktor di Program Doktor Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, FKKMK UGM, usai mempertahankan penelitian disertasinya pada ujian terbuka promosi doktor, Senin (9/8).
Dalam ringkasan disertasinya yang berjudul Perbandingan Efektivitas dan Efisiensi antara Teknik Modifikasi Tarsorafi dengan Teknik Gold Weight Implant sebagai Tata Laksana Operatif Lagoftalmus Paralisis pada Penderita Lepra, Yunia mengatakan lepra atau adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan atas dan mata. Penyakit lepra dapat ditularkan melalui kontak langsung antar kulit dalam jangka waktu yang lama. Pada tahun 2019, terdapat 17.439 kasus baru lepra di Indonesia. “Kondisi lepra di Indonesia relatif statis dan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia dan termasuk dalam salah satu prioritas nasional untuk 3 ditanggulangi,” katanya.
Penyakit Lepra menurutnya merupakan penyakit infeksi sistemik yang memiliki risiko komplikasi okular dan dapat berakhir dengan kebutaan dengan komplikasi okular terbanyak ditemukan pada pasien lepra usia lanjut. Diperkirakan 25-50% dari pasien lepra atau pasien yang telah sembuh memiliki gangguan mata. Kebutaan dipengaruhi banyak faktor, seperti tipe lepra, durasi, efek pengobatan, dan tata laksana kelainan mata. Lagoftalmus merupakan salah satu kelainan yang dapat diakibatkan oleh lepra berupa kondisi kelopak mata yang tidak dapat menutup dengan sempurna. “Pasien lepra dengan lagoftalmus pada saat terdiagnosis umumnya memiliki lesi di sekitar wajah serta cenderung menderita disabilitas tangan dan kaki dibandingkan pasien tanpa lagoftalmus,” ungkapnya.
Ia mengutip data laporan tahun 2013-2015 di Poliklinik Kulit dan Kelamin Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), lagoftalmus didapatkan sekitar 2,4% dari 501 kasus baru. Seluruh kasus lagoftalmus tersebut merupakan pasien lepra tipe Lepromatosa (MB).
Ia menjelaskan semua kelainan mata pada lepra termasuk lagoftalmus memerlukan deteksi dini dan tata laksana yang tepat untuk mencegah gangguan penglihatan yang dapat berakhir pada kebutaan. Tata laksana lagoftalmus bergantung dari durasi, jarak lagoftalmus, dan ada atau tidaknya pajanan kornea. “Pada lagoftalmus dengan jarak di atas 6 mm adanya pajanan kornea dan durasi diatas 6 bulan, tata laksana yang paling tepat adalah dengan melakukan operasi rekonstruksi kelopak,” paparnya.
Menurutnya, terdapat beberapa teknik operasi sebagai tata laksana lagoftalmus, namun teknik- teknik tersebut memberikan hasil yang bervariasi. Tata laksana rekonstruksi kelopak mata dibutuhkan untuk memperbaiki lagoftalmus paralisis pada pasien lepra tetapi belum semua spesialis mata yang berada di fasilitas pelayanan kesehatan terlatih untuk melakukan tata laksana rekonstruksi lagoftalmus tersebut. “Adanya keterbatasan akses dan biaya untuk berobat ke pelayanan kesehatan tersier menyebabkan pasien lepra datang saat sudah mengalami komplikasi yang mengancam penglihatan,” ungkapnya.
Yunia menyebutkan teknik rekonstruksi yang paling sering digunakan sebagai tata laksana lagoftalmus paralisis adalah upper eyelid loading menggunakan beban emas yang disebut teknik gold weight implant. Emas 24 karat 5 merupakan material yang dipilih karena gravitasi yang spesifik dan kesesuaian dengan jaringan. Gold weight implant memiliki tingkat kesuksesan yang tinggi untuk penatalaksanaan lagoftalmus. Teknik ini dilakukan dengan cara menjahitkan implan emas pada kelopak mata atas sehingga oleh gaya gravitasi kelopak mata dapat tertutup secara pasif saat otot levator palpebra relaksasi. “Teknik ini dapat mengoreksi kelemahan tonus otot orbikularis kelopak mata atas, namun kekenduran kelopak mata bawah akibat paresis CN VII tidak dapat dikoreksi hanya dengan menggunakan gold weight implant,” jelasnya.
Keunggulan teknik, kata Yunia, mampu meningkatkan penutupan kelopak mata untuk melindungi kornea dan menjaga fungsi penglihatan dengan hasil kosmetik yang cukup baik. Walaupun demikian, gold weight implant memiliki biaya yang mahal dan dapat terjadi komplikasi pasca pemasangan implan seperti inflamasi, alergi, ekstrusi, migrasi, ptosis, dan astigmatisme.
Penelitian yang ia lakukan menggunakan teknik modifikasi tarsorafi, yaitu mengombinasikan levator recess, tarsorafi lateral sepanjang 10 mm, serta kantopeksi atau lateral tarsal strip (LTS) dan kantoplasti. Teknik levator recess bertujuan untuk melemaskan otot levator dan menurunkan kelopak mata atas agar membuat kelopak mata dapat menutup secara pasif. Ia menyimpulkan teknik modifikasi tarsorafi sama efektifnya dibanding teknik gold weight implant sebagai tatalaksana operatif lagoftalmus paralisis pada penderita lepra. “Teknik modifikasi tarsorafi sama efektifnya dibanding teknik gold weight implant dalam penurunan jarak lagoftalmus dengan dan tanpa penekanan minimal, penilaian air mata subjektif dan objektif, perbaikan epiteliopati, mengurangi pajanan kornea, dan sensibilitas kornea,”katanya.
Menurutnya, teknik modifikasi tarsorafi lebih efisien dibanding teknik gold weight implant sebagai tatalaksana operatif lagoftalmus paralisis pada penderita lepra. Bahkan, teknik modifikasi tarsorafi lebih efisien dibanding teknik gold weight implant dalam hal komplikasi dan biaya operasi. “Teknik modifikasi tarsorafi sama efisiennya dengan teknik gold weight implant dalam hal durasi lamanya operasi,”pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson