Kondisi industri di Indonesia hingga saat ini terus mengalami pasang surut akibat berbagai ujian. Selain karena pandemi Covid-19 yang menyerang dari sisi produsen (supply) dan pasar (demand), juga dikarenakan kemajuan teknologi era industri 4.0 dan eksplorasi ruang angkasa (space mining, bulan dan planet Mars).
Ujian pertama pandemi SARS-Cov2 atau Covid-19 dan virus mutasinya telah menyerang pernafasan manusia dengan laju penyebaran yang semakin tinggi. Pandemi ini menyebabkan berbagai bisnis yang revenue-nya menggantungkan pada jumlah manusia yang mengoperasikan fasilitas produksi dan jumlah manusia yang membeli produknya menjadi terganggu.
“Perilaku konsumen dan prioritas yang dibeli telah bergeser ke produk untuk menguatkan imun, merawat yang sakit dan menjaga kebugaran, maka semua industri yang produknya tidak relevan dengan perubahan kebutuhan konsumen tersebut mengalami penurunan jumlah penjualan, dan sebaliknya industri yang produknya relevan dengan yang dibutuhkan konsumen atau usaha industri yang produk barunya disesuaikan dengan yang dibutuhkan konsumen telah terbukti lolos ujian dan bahkan usaha industri tersebut justru tumbuh melebihi ekspektasi,” ujar Prof. Ir. Alva Edy Tontowi, M.Si., Ph.D., IPM., ASEAN. Eng saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik UGM, Kamis (19/8).
Menurut Alva kegagalan secara komersial suatu produk dari pabrik dalam negeri atau pabrik luar negeri yang berpraktik OEM/Original Equipment manufacturing atau melayani produksi pesanan produk berbagai merk di pasar dalam negeri, ini disamping disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan produk yang dibutuhkan pasar di era pandemi diduga juga karena tidak lancarnya rantai pasok bahan baku (produk industri hulu) atau tidak adanya bahan baku di rantai pasokan, terutama bahan baku impor.
Sementara ujian kedua yang juga berpengaruh terhadap pasang surut berupa tersedianya teknologi era industry 4.0. Sebuah era yang berciri cyber-physic sistem-sistem pintar (Automation, Connectivity, Intelligent), padat teknologi (technology intensive) dan padat modal, tetapi mampu membuat produk dengan kualitas tinggi, kompleks, berbiaya relatif rendah dengan waktu produksi relatif lebih singkat.
Konsep revolusi digital Industry 4.0 (digitisasi sector manufaktur) pertama kali dikenalkan ke publik di acara Hannover Fair tahun 2011 oleh German Scientific Industry-Researcher Alliance. Usaha industri berteknologi 4.0 ini pada umumnya berada di negara maju (lokasi) dan dimiliki oleh negara maju (pemilik) karena asal teknologinya dari negara maju.
Sementara itu, mayoritas industri manufaktur berbagai kelas usaha di Indonesia-baik produknya maupun fasilitas produksinya masih dalam posisi antara tidak pintar, manual-semi otomatik dan cenderung padat karya (labor intensive). Hasil sementara pemetaan terhadap 300 usaha industri berada di level INDI rerata antara level 2 dan 3.
“Meskipun semua level teknologi yang dimiliki suatu perusahaan untuk membuat produknya memiliki segmen pasar tersendiri baik pasar domestik maupun pasar impor tergantung macam produknya sehingga bagi industri kita untuk adopsi Teknologi 4.0 dalam rangka modernisasi perlu mempertimbangkan strategi, prioritas dan selektif teknologi tanpa meninggalkan model bisnis utamanya,” paparnya.
Menyampaikan pidato Membangun Ekosistem Inovasi Industri Yang Efektif Untuk Penguatan Kedaulatan Industri Indonesia, Alva mengakui gangguan seperti pandemi Covid-19 telah memengaruhi yang lain seperti keamanan kriminal, perang atau bahkan embargo teknologi oleh negara produsen teknologi ke negara pembeli teknologi. Menurutnya, sangat terlihat usaha industri yang hanya mengandalkan kemampuan rantai pasok saja tanpa memiliki kemampuan membuat (manufaktur/mengandung inovasi) produk dalam suatu negara, bisnis tersebut tidak akan sustain.
“Dua ujian inilah yang menjadikan kedaulatan industri yang didukung oleh ekosistem inovasi industri untuk menjadikan Indonesia negara maju penting. Dua negara yang wilayahnya luas dengan populasi penduduk diatas 1 miliar atau populasinya empat kali Indonesia, yaitu China dan USA yang berdaulat industri telah membuktikan lulus ujian pandemi Covid-19 dengan durasi penderitaan kurang dari 1 tahun, sementara negara lain yang tidak berdaulat industri dengan dana terbatas dan berbagai isu negatif medsos-nya masih berusaha keras memerangi pandemi untuk menyelamatkan warga negaranya,” terangnya.
Menurutnya, kunci utama usaha industri Indonesia mampu tumbuh-kembang sehat berprofit, adaptif dan berdaya saing di era disrupsi saat ini dan mendatang adalah penerapan Inovasi Total (supply, demand, dan regulasi/fasilitasi) dengan laju penerapannya lebih cepat dengan produk berbasis pasar, teknologi dan kombinasi pasar-teknologi). Oleh karena itu penyesuaian-penyesuaian dengan inovasi perlu dilakukan antara tingkat kesesuaian produk dengan pasar dan antara tingkat kepintaran produk berhadapan dengan fasilitas produksi.
Meski industri Indonesia dengan keterbatasan biaya, tingkat kepintaran fasilitas produksi relatif rendah-sedang masih mampu tumbuh-kembang sehat berprofit untuk melayani kebutuhan pasar yang dinamis. Tetapi inovasi total ini tidak akan dapat terwujud jika ekosistem inovasi industrinya tidak diperbaiki.
“Masih lemahnya sistem inovasi industri kita saat ini mengakibatkan lemahnya kedaulatan industri dari hulu hingga hilir yang ditandai masih banyaknya produk industri hulu-hilir di pasar Indonesia dengan nilai Tingkat Kandungan Dalam Negeri rerata per Juni 2021 adalah 44,4 persen atau dengan kata lain sebagian bahan baku (part/komponen dan lainnya) untuk indutri hilir masih impor. Bagi negara Indonesia dengan kekayaan alam yang melimpah (darat dan laut), upaya penguatan industri, terutama industri hulu dengan menyiapkan bahan baku untuk industri turunan atau lanjutan ini sangat penting karena berimbas pada penguatan TKDN,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho