Sistem demokrasi yang bergulir di tanah Papua, khususnya di wilayah kepala burung Pulau Papua, terutama di Sorong, sedikit berbeda dari sistem demokrasi liberal atau demokrasi yang digunakan di daerah-daerah lainnya. Hal ini diungkapkan oleh peneliti sekaligus dosen dari Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, Haryanto, dan Wigne Capri Arti, dalam acara ‘Polgov Talk’ yang disiarkan melalui kanal Youtube Department of Politics and Government – Universitas Gadjah Mada, pada Senin, (16/8)
Haryanto menjelaskan bahwa demokrasi yang berlangsung di wilayah Sorong tersebut dijalankan dengan mekanisme keterwakilan yaitu para kepala suku atau kepada Keret (sub-suku) lah yang mewakili warganya dalam panggung demokrasi.
“Dalam proses pengambilan keputusan bersama dalam kehidupan atau pemerintahan, biasanya mereka mengambil (keputusan) secara musyawarah. Tetapi, musyawarah itu belum tentu berhasil, kadang-kadang alot. Ini yang menjadi suatu persoalan kalau musyawarah tadi itu menemui deadlock (jalan buntu), (maka) keputusan bersama tidak bisa diambil. (Oleh karena itu) mereka anggota-anggota masyarakat (lalu) menyerahkan keputusan kepada pimpinannya,” ungkap Haryanto.
Ada Jaminan Kualitas Demokrasi
Tentu, dengan mengetahui sistem demokrasi seperti itu, para kepala Keret atau para wakil yang mengambil keputusan untuk warganya, tampak mempunyai kuasa sewenang-wenang (otoriter). Namun, Haryanto mengungkapkan berdasarakan hasil peneltiannya bersama kolega bahwa hal tersebut tidak dilakukan.
“Ada potensi untuk dia bertindak (mengambil keputusan) sesuai keinginan dia pribadi (Kepala Keret), tapi hal ini tidak dilakukan,” tegas Haryanto
Haryanto mengungkapkan bahwa ternyata ada keberadaan ‘nilai’ dalam masyarakat yang menjaga dari terjadinya otoritarian tersebut (penguasa yang sewenang-wenang). Nilai tersebutlah yang kemudian diketahui menjadi control dan menciptakan trust atau kepercayaan antara Kepala Keret dan warganya. Nilai tersebut seperti yang termaktub dalam tradisi pertukaran Kain Timor.
“Ada nilai seperti ini: kalau seseorang memberi, maka itu adalah kewajiban bagi yang menerima untuk mengembalikan kepada pemberi. Si A memberikan sesuatu kepada Si B, Si B mempunyai kewajiban mengembalikan pemberian tadi kepada Si A. Kalau hal tersebut tidak dilakukan maka putuslah hubungan diantara mereka,” pungkas Haryanto.
Selain itu, peneliti dan dosen DPP lainnya, Wigne Capri Arti, mengungkapkan ada dua prinsip menarik lainnya yang beredar di tengah masyarakat, terutama di Suku Moi. Pertama adalah prinsip kesetaraan. Kedua adalah prinsip sinagi.
Wigne menjelaskan bahwa prinsip kesetaraan dimaksudkan kepada bagaimana setiap orang dalam Suku Moi tersebut memiliki hak yang sama dalam menyampaikan aspirasi.
Sedangkan, prinsip sinagi berarti “kasih” dalam Bahasa Indonesia. Prinsip sinagi tersebut layaknya seperti integritas dan akuntabilitas.
Penulis: Aji