Kondisi infrastruktur di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia. Bahkan, pertumbuhan industrialisasi dan infrastruktur di beberapa daerah di Indonesia kurang merata.
Data Kementerian PUPR menyebut stok infrastruktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari tahun 2015 sebesar 35 persen meningkat pada tahun 2020 sebesar 43 persen. Meski begitu, persentase ini masih cukup jauh dibandingkan dengan standar yang diberlakukan oleh World Economic Forum (WEF) di negara maju yaitu sebesar 70 persen.
Untuk memenuhi kebutuhan infrastruktur tersebut maka perlu dilakukan penambangan material di bumi seperti besi, tembaga, nikel, kobalt, dan platinum. Menjadi cukup dilematis karena penambangan material di bumi secara terus menerus akan berdampak pada kerusakan lingkungan. Bahkan, bahan berbahaya yang digunakan untuk mengekstraksi sumber daya dapat membahayakan keanekaragaman hayati, pekerja, dan penduduk loka
Melihat permasalahan tersebut, lima mahasiswa UGM yaitu Ananda Fikri Nugroho, Muhammad Rizqiansyah (Teknik Fisika 2018), Devara Zain Al Adid (Teknik Elektro 2018), Kaninda Khairunnisa (Teknik Fisika 2019), dan Fauzian Sekar Indrasyah (Farmasi 2019) di bawah bimbingan Dr. Nur Abdillah Siddiq, S.T., mencoba mencari solusi. Mereka akhirnya menggagas asteroid mining sebagai solusi dari kerusakan lingkungan akibat penambangan di Indonesia dan dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045.
Dengan gagasan tersebut, mereka pun kemudian berhasil memperoleh pendanaan dari Kemdikbud Ristek melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Makna Futuristik (PKM-GFK) 2021.
Ketua tim, Ananda Fikri Nugroho, menjelaskan pemilihan asteroid 1986 DA sebagai lokasi penambangan karena menimbang kandungan yang dimiliki asteroid. Asteroid ini mengandung beberapa material seperti Besi (Fe) sebesar 17,6 Gigaton, Nikel (Ni) sebesar 2 Gigaton, dan Kobalt (Co) sebesar 100 Megaton serta sisanya dapat terdiri dari kombinasi emas dan platinum sebesar 300 Megato
Menurutnya, kandungan ini menjadi potensi untuk peningkatan infrastruktur dan industrialisasi di Indonesia. Hal ini didukung dengan perkembangan aerospace yang semakin meningkat.
“Perkembangan Indonesia dalam dunia kedirgantaraan juga perlu diperhitungkan. LAPAN sebagai badan antariksa nasional terus melakukan riset terkait dunia kedirgantaraan,” katanya, di Kampus UGM, Jumat (3/9).
Mengutip pendapat Deputi Bidang Sains Antariksa dan Atmosfer LAPAN, Fikri mengungkapkan Indonesia tengah membangun observatorium terbesar di Asia Tenggara yang berlokasi di NTT yang diperkirakan rampung pada 2021. Ini tentu sangat mendukung agar asteroid mining dapat direalisasikan di Indonesia.
Menurutnya, peluncuran roket dilakukan di area ekuator bumi untuk menghemat bahan bakar. Hal ini terjadi karena peluncuran ekuator bumi memiliki kecepatan awal yang lebih tinggi dibandingkan di luar area ekuator bumi.
Indonesia sendiri, katanya, untuk pertama kali akan membangun Bandar Antariksa. LAPAN berencana menetapkan Biak, Papua sebagai lokasi yang cukup ideal karena paling dekat dengan ekuator dan pantai timurnya langsung menghadap ke Samudra Pasifik.
“Uniknya lagi bahan bakar yang digunakan yaitu electric dengan bantuan panel surya,” tulisnya.
Fikri sangat berharap keterlibatan banyak pihak untuk mewujudkan gagasan Asteroid Mining. Beberapa pihak yang diharapkan antara lain LAPAN, SpaceX, Kementerian ESDM, dan perusahaan-perusahaan komersial lainnya.
“Kita berharap Indonesia dapat berpartisipasi di pertambangan asteroid dan menjadi kekuatan astronomi di Asia Tenggara,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho