Menunda atau menghentikan perawatan yang mendukung kehidupan dapat dibenarkan secara etis ketika dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi pasien dan tepat secara medis. Pada situasi akut, anak sakit kritis diberikan penanganan agresif untuk mempertahankan hidup. Apabila dalam evaluasi pemberian terapi bantuan hidup tidak lagi memberi manfaat maka dianggap bahwa pengobatan menjadi sia-sia (futile).
Demikian disampaikan dr. Nurnaningsih, Sp.Ak saat mempertahankan disertasi berjudul Proses Pengambilan Keputusan Penundaan atau Penghentian Terapi Bantuan Hidup pada Anak Sakit Kritis Stadium Terminal: Studi Kasus di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKKMK UGM/ SMF Anak RSUP Dr. Sardjito mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka guna meraih gelar doktor dari FKKMK UGM, Selasa (7/9).
Menurutnya, dalam proses pengambilan keputusan tentang penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup, ada prinsip etika dan pendekatan yang harus diikuti yaitu bahwa pilihan berdasarkan pada kepentingan terbaik untuk anak (child’s best interest). Secara skematik ada dua versi pengambil keputusan, yaitu orang tua (sebagai pengganti anak mereka) yang menjadi pengambil keputusan utama (otonomi), dan versi kedua adalah dokter sepenuhnya sebagai penentu keputusan akhir (paternalistik).
“Shared decision making, berbagi pengambilan keputusan antara dokter dan orang tua pasien merupakan cara ideal untuk melakukan pilihan pada pasien dengan ketidakpastian medis dan sangat dipengaruhi oleh preferensi pribadi, pengalaman, dan lain-lain,” ujarnya di hadapan tim penguji.
Indonesia memiliki budaya dan mayoritas penganut agama yang berbeda dengan negara Barat. Di Indonesia pula mempunyai pandangan yang berbeda mengenai nilai seorang anak dalam suatu keluarga yang akan memengaruhi dalam proses pengambilan keputusan.
Bahkan, belum ada pedoman pelaksanaan penundaan atau penghentian pemberian terapi bantuan hidup pada anak sakit kritis. Berdasarkan hal tersebut maka promovenda memandang perlu dilakukan penelitian tentang proses pengambilan keputusan penundaan atau penghentian pemberian terapi bantuan hidup pada anak sakit kritis stadium terminal di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta.
“Tujuan penelitian ini adalah mengetahui proses pengambilan keputusan penundaan atau penghentian terapi bantuan hidup pada anak sakit kritis stadium terminal di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta,”katanya.
Dalam praktik penerapan di PICU RSUP Dr Sardjito, ia menjelaskan sebelum orang tua memutuskan tentang kelanjutan pemberian terapi bantuan hidup, tim dokter melakukan komunikasi dengan orang tua untuk memberikan informasi tentang perkembangan kondisi penyakit anaknya serta beberapa kemungkinan yang bisa terjadi (prognosis), manfaat (beneficence) maupun bahaya atau efek yang tidak diinginkan (maleficence).
Hal ini tentu sesuai dengan tipe keputusan shared decision making, namun bila ada perbedaan pendapat antara dokter dengan orang tua maka dokter akan mengikuti keputusan orang tua (tipe otonomi). Keputusan orang tua terhadap penundaan atau penghentian pemberian terapi bantuan hidup pada anak sakit kritis stadium terminal dapat berupa menyetujui, menolak atau menyerahkan keputusan kepada dokter.
“Karenanya proses pengambilan keputusan dipengaruhi oleh pandangan orang tua, pandangan dokter, pandangan direktur rumah sakit beserta pandangan komite etik dan hukum serta pandangan subkomite etika dan disiplin profesi,” paparnya.
Pada anak yang mengalami sakit kritis, kata Nurnaningsih, maka orang tua atau wali memiliki wewenang hukum untuk membuat keputusan atas nama anak, asalkan mereka bertindak demi kepentingan terbaik anak. Orang tua dalam menentukan kepentingan terbaik untuk anak haruslah mengerti tentang anaknya, kondisi penyakit anak serta pengalaman mereka dengan anaknya.
Orang tua akan melakukan apa yang akan diinginkan anak seandainya mereka mengalami sakit seperti yang sedang dialami anaknya. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa terdapat pemahaman orang tua yang masih rancu antara terbaik untuk anak (child best interest) dengan menjadi orang tua yang baik (good parent).
“Saya simpulkan bahwa orang tua memutuskan tidak setuju penundaan atau penghentian pemberian terapi bantuan hidup bukan karena ingin mempertahankan agar anak tetap bertahan hidup bahkan sampai menjadi sembuh tetapi hanya menginginkan anaknya tidak merasakan kesakitan dan tetap nyaman walaupun sebenarnya mengetahui anaknya mempunyai prognosis yang buruk,” jelasnya.
Terkait aspek legal di akhir desertasi disebutkan bahwa dalam pengambilan keputusan penundaan atau penghentian pemberian terapi bantuan hidup pada pasien sakit kritis stadium terminal berdasarkan panduan nasional, kebijakan internal rumah sakit, panduan praktik klinik (PPK) maupun standar operasional prosedur (SOP). Meski begitu belum ada kebijakan mengenai tindakan kedokteran yang sudah sia-sia (futile) yang ditetapkan oleh Direktur RSUP Dr Sardjito.
“Definisi terminal state masih terbatas dalam konteks panduan Pelayanan Akhir Hayat. Untuk itu, perlu sosialisasi terkait pemahaman penundaan atau penghentian pemberian terapi bantuan hidup pada anak sakit kritis stadium terminal di tingkat rumah sakit baik kepada Komite Etik dan Hukum, Komite Medis (Subkomite Etika dan Disiplin Profesi) dan pemberi pelayanan pasien (tim medis),” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho