Birokrasi adalah entitas yang diciptakan oleh pemimpin untuk menetapkan kekuasaannya. Birokrasi ini merupakan sebuah keistimewaan yang akhirnya melekat pada diri pemimpin. Reformasi di Kota Yogyakarta yang dilakukan oleh Wali Kota cukup menarik untuk di pandang lebih dari sudut pandangtropologi.
“Ketika ada perubahan sistem, ternyata sering kali belum tentu menghasilkan sebuah perubahan yang berani untuk mereformasi,” ungkap Dr. Budi Puspo Priyadu, M.Hum ketika mengungkapkan hasil kajiannya dalam Seminar Nasional Berseri Kajian Antropologi Indonesia yang dilaksanakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM dan AAI DIY pada Senin (13/9).
Budi menjelaskan, di Kota Yogyakarta ketika pemimpin berasal dari kalangan militer terdapat kecenderungan birokrasi paternalistik serta sistem berbentuk piramida. Ia menambahkan hal tersebut juga dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat Indonesia.
“Kita juga dapat melihat bahwa saat ini partai belum bisa mereform bahwa ketika seorang kepala daerah sudah dipilih harus melepaskan baju partai,” ungkap Budi.
Budi menuturkan Pak Heri Zudianto di Yogyakarta mampu melakukannya serta dapat menjadi sosok pemimpin yang dapat melayani masyarakat tanpa adanya embel embel partai.
Menanggapi pemaparan Budi dan sebagai pemantik diskusi, Dr Mohammad Yusuf, MA Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM menjelaskan bahwa perlu adanya diskusi lebih mendalam mengenai apa itu reformasi, apa saja cakupan perubahan yang dilakukan sehingga dapat disebut reformasi, dan serta apakah reformasi dilakukan sebagai upaya untuk antithesis dari model birokrasi sebelumnya.
“Ada konteks dimana birokrasi perlu diperbaiki dan disesuaikan dengan konteks yang ada saat ini,” ulas Budi dalam diskusi.
Reformasi birokrasi diperlukan sebagai ketika pada akhirnya pelayanan pemerintah dianggap tidak pro rakyat serta adanya diskriminasi dalam pelayanan publik.
“Birokrasi sebagai fenomena sosial budaya perlu dilihat dari segi organisasinya ataupun nilai yang dibawanya. Penambahan dimensi dari mulai bagaimana peranan teknologi dalam pemanfaatan hingga aspek bahasa yang akan membuat kajian ini lebih kaya,” imbuh Prof. Dr Heddy Shri Ahimsa Putra, MA, M.Phil, Guru Besar Antropologi UGM serta Penggagas dan Koordinator Seminar sebagai keseluruhan terhadap kajian.
Selengkapnya pemaparan kajian dan tanggapan.
Penulis: Khansa