Tim mahasiswa UGM melakukan penelitian terkait upaya pengembalian fungsi Surau sebagai kearifan lokal masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan sebagai bagian dari Program Kreativitas Mahasiswa-Riset Sosial Humaniora yang menerima pendanaan penuh dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
Tim mahasiswa UGM yang melakukan penelitian terdiri dari Muhammad Farid Wajdi, Moch Zihad Islami, Antika Widya Putri (Fakultas Filsafat), dan Nabila Alyssa Kurnia serta Aryuna Pramesthi Sudewo (Fakultas Hukum). Adapun latar belakang pengambilan tema penelitian ini didasarkan pada kondisi sosial saat Surau sudah mulai kehilangan fungsinya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat.
Menurut Muhammad Farid Wajdi kondisi ini tentunya berpengaruh terhadap tatanan sosial masyarakat yang berlandaskan falsafah ‘Adaik Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) sehingga perlu dilakukan berbagai pendekatan untuk mengembalikan eksistensi fungsi Surau di dalam masyarakat.
“Salah satu yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan dalam sektor pendidikan,” katanya, di Kampus UGM, Rabu (22/9).
Menurutnya, penelitian ini difokuskan pada tiga lokasi di Provinsi Sumatera Barat yaitu Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, dan Kabupaten Tanah Datar. Tim dalam melakukan penelitian menggali informasi dari berbagai narasumber dengan latar belakang yang beragam, seperti Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, pengelola Surau, pengelola Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA), serta akademisi.
“Ini kita lakukan dengan tujuan agar penelitian ini mendapatkan benang merah komparasi antara Surau dan MDA dengan fenomena pergeseran falsafah ABS-SBK dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat,” ucapnya.
Menurut Farid dengan melihat pola kehidupan masyarakat Minangkabau di masa lampau maka dapat menunjukkan eksistensi Surau dalam suatu Nagari. Surau memegang peranan penting dalam penciptaan generasi muda Minangkabau yang visioner, mandiri, beradab, berjiwa sosial, dan segenap nilai luhur lainnya.
“Kegiatan belajar di Surau menjadi episentrum pendidikan terkait ilmu agama, pengetahuan adat, dan ilmu terkait kehidupan. Banyak tokoh bangsa yang dilahirkan melalui sistem pendidikan Surau, sebut saja Mohammad Hatta, M. Natsir, Buya HAMKA, H. Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan masih banyak lagi,” terangnya.
Salah satu hal yang diamati dalam penelitian ini adalah keunikan Surau. Ia menjadi semacam lembaga edukasi terkait adat Minangkabau. Pengetahuan adat Minangkabau yang diajarkan di Surau meliputi petatah-petitih adat, silek, sambah kato, hingga kesenian seperti Randai.
“Proses edukasi terkait adat Minangkabau inilah yang kemudian tidak ditemukan pada sistem pendidikan MDA yang dianggap menggeser Surau,” paparnya.
Melalui penelitian ini, kata Farid, tim berhasil merumuskan rekomendasi kebijakan kepada berbagai pihak terkait sebagai langkah pengembalian fungsi Surau di tengah masyarakat. Rekomendasi tersebut berupa usulan pembentukan mata pelajaran adat Minangkabau yang nantinya akan diimplementasikan dalam sistem pendidikan MDA.
Hal ini bertujuan agar kolaborasi sistem MDA yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dapat menginternalisasi nilai-nilai yang dahulu hanya diterapkan dalam Surau sehingga generasi muda Sumatera Barat yang mengenyam pendidikan di MDA tetap dapat menjadi insan yang paham akan nilai-nilai adat istiadat Minangkabau.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Jalajah Nagari Awak