Di era tahun 1930-an, Indonesia yang dahulunya bernama Hindia Belanda pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Saat itu, produksi gula mencapai 2,9 juta ton per tahun dengan luas area perkebunan tebu mencapai 196 ribu hektare. Namun, 90 tahun kemudian di tahun 2020 dengan luas area lebih dari dua kali lipatnya, produksi gula hanya mencapai 2,5 juta ton. Bahkan, sejak 1970-an Indonesia tidak lagi menjadi negara eksportir, namun menjadi negara pengimpor gula. “Terjadi penurunan produktivitas. Sejak 1970 kita jadi net importir gula,” kata Direktur Utama PTPN III, Dr. Mohammad Abdul Ghani, dalam webinar yang bertajuk Problematika Kebijakan dan Revitalisasi Industri Gula Nasional, Kamis (23/9).
Produksi gula nasional saat ini berasal dari 35 dari 45 pabrik gula yang masih beroperasi. Pada pertengahan Agustus, seluruh pabrik gula dibawah naungan PTPN digabung dalam satu entitas perusahaan gula nasional yang bernama PT Sinergi Gula Nusantara. Penggabungan seluruh pabrik gula lewat holding company tersebut ini diharapkan bisa meningkatkan kemandirian produksi gula nasional. Adanya holding ini menurut Abdul Gani dikarenakan selama ini ada penurunan kapabilitas, kapasitas dari sdm dan budaya kerja di pabrik gula milik PTPN sehingga dilakukan perombakan secara menyeluruh.
“Tujuan transformasi ini agar tercapai kemandirian industri gula nasional. Tahun 2024 kita tergetkan produksi capai 3,2 juta ton untuk gula konsumsi. Untuk gula buat produk makanan dan minuman belum sanggup karena masih adanya keterbatasan lahan,” papar alumnus UGM ini.
Untuk menggenjot produksi gula nasional tersebut, pihaknya akan menambah area baru lahan perkebunan tebu hingga 250 ribu hektare dengan bekerja sama dengan perhutani. Selain itu, juga melakukan pembenahan soal bibit tebu agar lebih berkualitas yang mampu meningkat produktivitas. “Ada persoalan soal bibit. Seluruh lahan kemitraan dengan petani nantinya menggunakan bibit yang tersertifikasi. Kesejahteraan petani juga diperhatikan dengan menekan biaya transportasi dan efisiensi produksi,” katanya.
Guru Besar Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Prof. Azwar Maas, mengatakan tantangan PTPN dalam meningkatkan produktivitas gula nasional tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurutnya, tanaman tebu memerlukan lahan khusus agar produktivitas meningkat. Ia menyebutkan tanah di Jawa dan Sumatera, Sulawesi merupakan daerah yang dianggap cocok untuk tanaman tebu. Namun demikian, di pulau Jawa tidak banyak lahan yang bisa dikonversi untuk perkebunan karena sudah terbatas. “Untuk pengembangan HGU nampaknya sulit karena pemda tidak semuanya mampu menyediakan lahan di atas 10 ribu hektare,” paparnya.
Fakta lain yang ia temukan di lapangan, kata Azwar, menunjukkan kinerja dari pabrik gula milik BUMN masih dalam langkah masih berjuang dan bertahan di tengah dunia bisnis dengan berbagai kendala baik dari segi budi daya, pasca budi daya dan pengelolaannya. Disamping itu, pengembangan produksi gula nasional menurutnya perlu dukungan dan keberpihakan dari pemerintah. “Di negara lain malah justru penanam tebu ada subsidinya dari pemerintah. Lihat saja Thailand bisa mengekspor karena kelebihan produksi. Ada campur tangan pemerintah yang pro tebu, ada subsidi sampai 30 persen. Keberpihakan pemerintah ini kita tunggu kapan masanya bisa dapat seperti itu,” tegasnya.
Sementara Guru Besar Bidang Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian UGM, Prof. Irham, mengatakan setiap kebijakan harus berbasis riset, namun kebijakan pertanian selama ini kurang berbasis riset. Ia mengusulkan adanya konsolidasi perkebunan tebu rakyat dengan melibatkan pabrik gula secara aktif. “Kita ingin suatu saat PTPN bisa jadi perusahaan berbasi riset seperti perusahaan di negara maju. Tujuannya untuk menjamin bibit yang berkulitas dan tepat waktu, menjamin ketersediaan pupuk, waktu tebang yang benar, transportasi tebu ke penggilingan yang tepat waktu serta adanya peningkatan kesejahteraan petani,” paparnya.
Penulis : Gusti Grehenson