Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 menunjukkan bahwa 64,50 juta penduduk Indonesia berada dalam kelompok umur pemuda. Namun, persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian hanya 21% dibanding dengan sektor manufaktur sebanyak 24% dan sektor jasa sebanyak 55%. Menanggapi hal tersebut, Dr. Ir. Leli Nuryati, M.Sc, Kepala Pusat Pelatihan Pertanian – BPPSDMP, menyampaikan terdapat beberapa faktor penyebab pemuda Indonesia kurang tertarik untuk bekerja di sektor pertanian.
Hal tersebut menurut Leli terdiri dari lima faktor. Pertama, masalah lahan. Kita selalu bertumpu pada lahan-lahan yang ada di Jawa. Oleh karena itu, kita perlu perlu memperluas pengetahuan kepada para pemuda bahwa kita tidak harus selalu bertumpu pada lahan yang ada di Jawa. Kedua, prestise sosial. Hal ini membutuhkan branding yang baik tentang pertanian bahwa pertanian itu keren. Ketiga adalah banyak yang tidak terjun ke sektor pertanian karena sektor ini berisiko baik dari sisi alam maupun harga. Terakhir adalah masalah pendapatan yang rendah dan kurangnya insentif dari pemerintah.
“Pemuda tidak mau terjun ke sektor pertanian karena pendapatan yang lebih rendah. Memang kalau kita tidak mengusahakan pertanian secara serius maka pendapatannya akan lebih rendah. Lalu, banyak yang mengatakan pemerintah kurang perhatiannya kepada petanian. Padahal belum tentu, hal ini mungkin disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan akses informasi,” paparnya pada Minggu, (26/9) dalam webinar Hari Tani yang diadakan oleh Fakultas Pertanian UGM.
Leli menjelaskan untuk mendorong minat pemuda di sektor pertanian, Kementrian Pertanian melakukan beberapa program aksi berupa penyuluhan pendidikan vokasi dan pelatihan mendukung pertumbuhan usaha petani milenial, serta penyuluhan, pendidikan vokasi dan pelatihan mendukung program utama Kementrian Pertanian.
“Menteri Pertanian sejak tahun 2020 memiliki target penumbuhan pengusaha pertanian milenial yaitu sebanyak 500.000 setiap tahun sehingga totalnya 2,5 juta petani milenial pada tahun 2024. Selain program tadi, Kementrian Pertanian memiliki banyak program diantaranya program petani milenial, penumbuhan wirausahawan muda pertanian (PWMP), Duta Petani Milenial dan Duta Petani Andalan, penerapan digitalisasi pertanian dan sebagainya,” tutur Leli.
Dr. Jangkung Handoyo Mulyo, M.Ec., Ketua Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Faperta UGM, menambahkan adanya beberapa tantangan di bidang pertanian.
“Empat hal yang perlu kita ingat, produksi pangan kita tumbuh 0.56%/tahun (2000-20020), namun perlu diingat bahwa konsumsi beras naik 0.16%/tahun. Jadi, produksi meningkat, namun konsumsi juga meningkat. Lahan pertanian menyusut -0,03%/tahun. Pertumbuhan populasi Indonesia 1.29%/tahun. Jadi, tantangan kita sangat berat sekali. Siapapun presidennya, siapapun menterinya akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Ini bicara fakta bukan excuse,” imbuhnya.
Selain itu, menurut Jangkung, data dari Sensus Pertanian Indonesia 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 74% petani tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali dan 49% petani Indonesia berusia di atas 50 tahun.
“Petani usia di atas 50 tahun kemampuannya pasti berbeda, cara merespons petani ini terhadap tantangan zaman dan teknologi juga berbeda sehingga tidak ada pilihan kecuali melakukan regenerasi. Farmer regeneration is a must kalau kita tetap ingin sustain,” jelasnya.
Jangkung menyampaikan dalam konteks regenerasi ada beberapa hal yang perlu kita lakukan, yaitu membangun kesadaran bersama, perlu adanya gerakan nasional (tidak hanya mengandalkan dana dari pemerintah), gerakan melibatkan banyak sektor, dan memperhatikan kesejahteraan petani.
Penulis: Desy