Tanggal 21 September diperingati sebagai Hari Perdamaian Internasional. Peringatan ini dilatarbelakangi oleh proposal Kosta Rika dan Inggris yang menjadikan pekan ketiga atau pada saat pemimpin dunia mendatangi Sidang Umum PBB sebagai hari perdamaian.
“Dalam perkembangannya, ada seorang sutradara asal Inggris yang ingin mendorong inisiatif ini lebih lanjut. Ia membayangkan setidaknya dalam 1 hari saja di dunia tidak ada yang tersedia,” ungkap Dr. Diah Kusumaningrum, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM, dalam Podcast HI Episode 35: September Kelam pada Rabu (29/9).
Pada tahun 2001 tepat pada saat PBB kedatangan Hari Perdamaian ini peristiwa sembilan sebelas terjadi. Sehingga keputusan Hari Perdamaian Internasional ini baru diluncurkan pada tahun 2002.
“Peringatan disini artinya juga warning,” pungkas Diah.
Dalam bulan September ini banyak peristiwa pelanggaran HAM yang ada di Indonesia. Menurut Amnesti Internasional Indonesia tercatat berbagai peristiwadiantaranya adalah Pembunuhan Munir, Peristiwa Tanjung Priok, Pembunuhan Pendeta Yeremia, Peristiwa Semanggi Dua, hingga pada September tahun 2019 beberapa pelajar juga menjadi korban pelanggaran HAM saat Protes Reformasi Dikorupsi.
“September kelam ini juga terjadi secara global yaitu Black September, Penyekapan Atlet di Munich, dan pada peristiwa nine eleven,” ungkap Diah
Ayu Dias Rahmawati, M.A, dosen Hubungan Internasional UGM, dalam tanggapannya menuturkan dalam catatan Freedom House, skor demokrasi global menunjukkan penurunan selama 15 tahun terakhir. Ayu dan Diah mengajak kita untuk merefleksikan pelanggaran HAM yang masih banyak terjadi baik secara global maupun di Indonesia yang disebabkan oleh kemunduran demokrasi.
Mengutip dari Richard Rorty, disebutkan bahwa upaya aktivis HAM belum bisa berhasil juga dapat disebabkan oleh kurangnya dukungan dari institusi pendidikan. Peranan pendidikan yaitu perlu mendidik ulang pandangan bahwa sesama manusia itu sama utuhnya dan sama derajatnya.
Dalam konflik konsep inilah yang gagal untuk diterapkan secara global kita semua menyadari bahwa setiap manusia memiliki hak asasi, namun praktiknya pada saat konflik manusia gagal dalam memandang bahwa hak asasi juga melekat pada orang yang menghadapi dan merasa lebih berkuasa dibandingkan yang lain.
Kampus sebagai institusi sosial diharapkan dapat terus mendorong upaya penyelesaian pelanggaran HAM dan juga upaya pencegahannya dengan menciptakan lingkungan yang demokratis serta melindungi hak kebebasan akademik.
Selengkapnya disini.
Penulis: Khansa