Di usia ke-58, Fakultas Kehutanan UGM dituntut untuk terus memberikan kontribusi pemikiran nyata ke dalam sistem kebangsaan, khususnya sektor kehutanan, sekaligus secara simultan melakukan perbaikan-perbaikan internal dengan semangat continues improvement. Secara garis besar, kontribusi yang diberikan adalah sejalan dengan memudarnya peran sektor kehutanan dan usaha memulihkannya kembali.
“Fakultas berusaha membangkitkan kejayaan kehutanan dengan melakukan pembenahan atas keterlanjuran-keterlanjuran yang telah terjadi di sektor ini setelah diakui pernah berjaya pada era tahun 80an,” ujar Dekan Fakultas Kehutanan, Dr. Budiadi, S.Hut., M.Agr.Sc., saat menyampaikan laporan pada puncak Dies ke-58 Fakultas Kehutanan UGM, Jumat (1/10).
Dengan semangat tersebut, kata Dekan, Fakultas Kehutanan UGM memimpin usaha rehabilitasi hutan yang diwujudkan dalam kerja lintas generasi di KHDTK UGM di Getas sebagai centre of excellence penyelamatan ekosistem Pulau Jawa. Meskipun usaha-usaha tersebut masih bersifat acak, namun ada optimisme untuk mencapai tujuan tersebut sebagaimana KHDTK Wanagama yang dianggap berhasil setelah dikelola selama lebih dari 30 tahun.
Di dalam penyelamatan ekosistem hutan tropis, sejak tahun 2018 Fakultas Kehutanan UGM berusaha memberikan jalan tengah mempertemukan percepatan rehabilitasi hutan dengan kebijakan Perhutanan Sosial (PS) untuk mengelola isu keterlanjuran perambahan hutan yang dikonversi menjadi kebun kelapa sawit rakyat.
“Syukur Alhamdulillah, pendekatan yang disebut dengan Strategi Jangka Benah (SJB) tersebut diadopsi dalam kebijakan pemerintah dalam peraturan pemerintah PP No. 23/2021 dan No. 24/2021, serta Permen LHK No. 7/2021, No. 8/2021 dan No. 9/2021 sebagai implementasi UUCK,” terangnya.
Demikian juga adopsi terhadap inovasi-inovasi Bulaksumur seperti Teknik Silvikultur Intensif (Silin), Integrated Forest Farming System (IFFS) dan lainnya, dimana dalam kebijakan pengelolaan hutan ke depan semakin kuat yang masing-masing dikawal oleh Pusat Kajian (PK) yang relevan di fakultas.
Dekan menyebut tantangan-tantangan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi selalu berkembang dan menuntut refleksi yang dinamis diantaranya tantangan jangka panjang berupa disrupsi jenis pekerjaan di bidang kehutanan. Profesi rimbawan dinilai belum dianggap penting dalam kehidupan berbangsa. Lulusan sarjana cenderung tidak bisa menetapkan langkah perjalanan karer sebagai rimbawan karena kurangnya kebanggaan profesi atau terjadinya disorientasi.
“Karenanya salah satu tawaran solusi untuk masalah ini adalah upaya untuk mencetak sarjana dan rimbawan unggul, antara lain dengan membangun Program Studi Profesi Insinyur Kehutanan (PSPIK),” katanya.
Budiadi mengakui periode tahun 2020-2021 merupakan puncak era pandemi yang berdampak pada semua lini kehidupan, termasuk pendidikan tinggi. Fakultas Kehutanan UGM mengalami dampak langsung karena mobilitas dan motivasi calon mahasiswa yang menurun.
Hal tersebut, menurutnya, menyebabkan kualitas input mahasiswa S1, S2 dan S3, dengan student selectivity yang menurun. Dalam penyelenggaraan pembelajaran, metode pembelajaran dalam jaringan (daring) menyebabkan turunnya interaksi mahasiswa dengan dosen dan almamater, serta interaksi antar mahasiswa. Meskipun adaptasi teknik dan fasilitas pembelajaran daring sudah berjalan dengan baik, tetapi masa-masa peralihan ini menyisakan pertanyaan bagaimana luaran pembelajaran daring bisa menjadi alat utama mencetak ilmuwan yang berkarakter.
“Karenanya semakin menguat dorongan untuk percepatan pembelajaran tatap muka dengan metode daring merupakan komplemen sehingga kita akan mendukung program akselerasi menuju kenormalan baru,” paparnya.
Disamping dalam bidang pendidikan dan kemahasiswaan, Dekan pada kesempatan ini juga menyampaikan laporan terkait bidang penelitian, pengabdian kepada masyarakat, kerja sama dan alumni serta bidang administrasi, keuangan, SDM dan sarana prasarana. Sementara itu, pidato ilmiah Dies ke-58 Fakultas Kehutanan UGM disampaikan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK, Dr. Ir. Ruanda Agung Sugardiman, M.Sc, dengan mengangkat judul “Undang-Undang Cipta Kerja: Jaminan Kecukupan Luas Kawasan Hutan dan Penutupan Hutan Guna Mewujudkan Hutan Indonesia Lestari”.
Ruanda Agung menandaskan tidak benar bila UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya menghapus aturan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan. UUCK dan aturan turunannya justru memperkuat konsepsi, metode dan tata-cara penghitungannya dengan lebih memperhatikan Variasi Karakteristik Biogeofisik, Daya Tampung Daya Dukung Lingkungan Hidup, Karakteristik DAS, dan Keanekaragaman Flora Fauna.
“Juga mempertimbangkan batas Adminstrasi Pemerintahan dan tidak semua sama untuk seluruh wilayah Indonesia, serta mempertimbangkan Kondisi Eksisting Kawasan Hutan dan Program Kebijakan Pembangunan sebelumnya,” tandasnya.
Ia menyampaikan UUCK juga memberikan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk mengatur penutupan hutan di luar Kawasan Hutan untuk optimalisasi manfaat lingkungan, sosial, ekonomi dan budaya. Selain itu, memungkinkan bagi pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan pihak lain dapat memberikan insentif kepada pihak yang dapat memulihkan, mempertahankan, melestarikan hutan di dalam dan di luar kawasan hutan sehingga dapat berperan meningkatkan luas tutupan hutan baik di dalam maupun luar kawasan hutan.
Penulis : Agung Nugroho