Mahasiswa Teknik UGM yang beranggotakan Sasa Aulia (Teknik Fisika 20), Al Ainna Assyifa (Teknik Geologi 20), dan Larasati Aditama (Teknik Sipil 20) berhasil meraih juara 1 pada ITERA National Paper Competition (INPC) 2021.
Kompetisi ini dilaksanakan oleh Institut Teknologi Sumatera memperingati Dies Natalis ke-7 pada bulan Agustus 2021. Kompetisi ini meliputi tiga tahap yakni pengumpulan abstrak pada 10 Agustus 2021 (194 peserta), pengumpulan full paper pada 10 September (50 peserta), kemudian tahap pembuatan video dan presentasi pada 3 Oktober 2021 (10 peserta).
Sasa dan tim mengusulkan paper yang berjudul “Red Mud Panel Air Purifier (REPAF): Inovasi Teknologi Berbahan Baku Tailing Bauksit Sebagai Penyerap Asap Kebakaran Hutan di Riau Dalam Upaya Mewujudkan Target SDGs 2030”.
Sasa menjelaskan pembuatan paper ini adalah dengan melihat luasnya wilayah hutan yang disalahgunakan oleh sebagian oknum tidak bertanggung jawab dengan melakukan pembukaan perkebunan kelapa sawit dan illegal logging. Akibatnya adalah terjadi kabut asap yang disebabkan oleh kebakaran hutan.
“Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama Indonesia berada pada urutan keempat sebagai negara penyumbang emisi karbon tertinggi di dunia. Masalah utama yang menjadi sorotan pemerintah akibat kebakaran hutan adalah ISPA atau Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Pada tahun 2019, Dinas Kesehatan Provinsi Riau mencatat sebanyak 61.017 penduduk Riau terserang ISPA akibat asap kebakaran hutan. Selain itu, Indonesia terkenal akan melimpahnya potensi sumber daya alam bauksit,” papar Sasa pada Jumat (8/10).
Selanjutnya Sasa menyampaikan Badan Pusat Statistik mencatat 16.592.187,00 ton bauksit pada 2021 dan sebagian besar berada di wilayah Sumatra (BPS, 2021). Melalui Perjanjian Paris 2015, Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29% pada tahun 2030 dengan upaya sendiri.
“Oleh karena itu, diperlukan sebuah inovasi pemanfaatan limbah tailing bauksit sebagai bentuk pemanfaatan kembali dari limbah yang sudah tidak terpakai untuk mengatasi asap akibat bencana kebakaran hutan sekaligus menurunkan gas emisi karbon. Kami memberi nama “REPAF”,” terang Sasa.
Komponen pada REPAF menurut Sasa terdiri dari beberapa bagian. Pertama, tempat menaruh zeolit yang sudah dimampatkan dari hasil proses kristalisasi. Kedua, jaring-jaring dan ketiga tiang dari alumunium berbentuk seperti panel billboard.
“Sistem REPAF mampu menyerap gas CO2 dengan kapasitas penyerapan mencapai 6.4 mmol/g zeolit, jika dibandingkan dengan zeolit berbahan baku alam aktif dengan kapasitas penyerapan CO2 1,165 mmol/g zeolit, REPAF memiliki efektivitas penyerapan CO2 yang lebih tinggi. Penerapan sistem REPAF terbukti layak secara ekonomi. Hal ini didasarkan pada hasil analisis keekonomian yang menunjukkan adanya Return of Investment sekitar 40% dan keuntungan dari hasil penjualan dapat menyejahterakan masyarakat sekitar yaitu menurut BEP adalah setahun setelah pemasangan REPAF,” papar Sasa.
Dari pengajuan inovasi ini, Sasa dkk. berharap bisa menjadi solusi bagi pemerintah dalam menangani kasus kebakaran hutan di Indonesia sehingga tidak sekadar mengandalkan pemadam kebakaran dan hujan yang datang sewaktu-waktu.
“Selain itu, inovasi kami juga dapat membantu menyukseskan program SGDs tahun 2030,” tutur Sasa.
Penulis: Desy