Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM kembali mengadakan kajian sastra rutin pada Rabu, (3/11). Pada acara webinar sastra kali ini, penyelenggara mengundang Dr. Olga A. Rorintulus, alumnus UGM yang kini menjadi pengajar di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado, untuk membawakan hasil penelitian disertasinya tentang karya sastra Amerika.
Olga lebih tepatnya membawa hasil penelitian kepada karya-karya sastra seorang perempuan bernama Zitkala-Sa atau Getrude Simmons Bonnin. Zitkala-Sa ini diketahui merupakan seorang perempuan Indian Amerika yang kemudian berjuang untuk melawan penindasan gender yang masyarakat kulit putih sekitar tahun 1900-an, khususnya bagi perempuan Indian Amerika.
“Zitkala-Sa berupaya meluruskan persepsi yang salah tentang peran perempuan Indian Amerika dalam masyarakat kulit putih,” tutur Olga dalam webinar berjudul ‘Zitkala-Sa dan Reposisi Peran Perempuan Indian Amerika’ yang dipublikasikan melalui Channel Youtube ‘Kanal Pengetahuan Fakultas Ilmu Budaya UGM’ itu.
Olga mengungkapkan bahwa dalam masyarakat tradisional Indian Amerika, peran perempuan dikenal memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki. Peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat tradisional Indian Amerika kemudian dikenal memiliki hubungan yang saling melengkapi. Peran perempuan dalam urusan domestik mendapat penghargaan tersendiri dalam masyarakat Indian Amerika. Dalam ranah publik, perempuan juga bisa dipandang sebagai salah satu “warior” karena berkontribusi dalam hal pengobatan.
Namun, nilai kesetaraan gender yang didapat Zitkala-Sa dari kebudayaan aslinya itu kemudian mendapatkan ancaman terdegradasi ketika bersekolah dalam sekolah kulit putih. Ringkas cerita, dalam masa hidupnya, Zitkala-Sa dan perempuan-perempuan Indian Amerika lainnya dipaksa untuk bersekolah ke sekolah kulit putih guna “memberadabkan” mereka. Zitkala-Sa dan perempuan Indian Amerika lainnya dibawa masuk kedalam budaya masyarakat kulit putih yang tidak memiliki kesetaraan gender. Di sana peran laki-laki dinilai lebih tinggi, peran perempuan dalam ranah domestik hanya dianggap sebagai “pelengkap” dari peran laki-laki, dan mereka tidak diizinkan untuk berperan dalam ranah publik.
Oleh karena itu, Zitkala-Sa yang belajar dalam sekolah kulit putih, belajar bahasa kulit putih, lalu menulis dan menerbitkan berbagai karya sebagai bentuk resistensi terhadap nilai kebudayaan yang menindas tersebut. Dimana berisi tuntutan bagi ruang bagi budaya masyarakai Indian Amerika, memperkuat budaya kesetaraan gender, meluruskan persepsi yang salah tentang peran perempuan Indian Amerika, serta memposisikan peran PIA sepertid alam masyarakat tradisional PIA. Tidak kalah penting, karya-karya Zitkala-Sa diketahui juga menjadi langkah pemberdayaan awal perempuan Indian Amerika.
Achmad Munjid Ph.D, ahli kajian Amerika dari FIB UGM, mengatakan isu yang dibawa Zitkala-Sa adalah salah satu masalah serius dalam masyarakat Amerika. Munjid mengungkap bahwa dibalik “gemerlap” nya masyarakat citra masyarakat Amerika yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, kesetaraan gender, ras dan sebagainya, sebetulnya terdapat banyak permasalahan yang bertolak belakang dengan citra itu. Munjid mengungkap bahwa penindasan kepada masyarakat Indian Amerika sudah terjadi semenjak Christopher Columbus menduduki benua Amerika.
Seperti halnya dalam istilah “America: the land of opportunity”. Munjid mengungkapkan bahwa istilah tersebut pada kenyataannya hanya berlaku untuk masyarakat kulit putih eropa, tetapi tidak untuk masyarakat Indian. Bagi masyarakat Indian, Amerika lebih kurang hanyalah seperti “the land of oppression (penindasan)”.
“(Sehingga) membaca karya-karya seperti Zitkala-Sa ini, kita menjadi suara yang langsung atau suara yang jernih, yang jelas, tentang situasi mereka (penindasan kepada masyarakat Indian Amerika),” pungkas Munjid.
Untuk mengetahui bagaimana perjuangan Zitkala-Sa lebih jauh, silahkan kunjungi tautan disini.
Penulis: Aji