Makanan halal merujuk pada semua jenis makanan yang baik dikonsumsi dan jauh dari kriteria makanan yang dilarang Allah. Makanan halal ini biasanya mempunyai kandungan nutrisi yang baik dan berguna untuk menjaga kesehatan tubuh, serta tidak memiliki kandungan berbahaya yang dapat memberikan risiko berbagai penyakit.
Hal tersebut menjadi salah satu alasan mengapa umat muslim diperintahkan untuk mengonsumi makanan halal yang baik untuk tubuh. Di samping itu, masyarakat muslim juga wajib menjauhi berbagai makanan yang merusak tubuh, seperti daging babi, daging binatang buas, serta daging hewan yang disembelih selain atas nama Allah, serta berbagai minuman haram seperti alcohol, arak dan lain-lain.
Ir. Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P., Ph.D., IPM., ASEAN Eng., Dosen dan Direktur Halal Center Fakultas Peternakan UGM sekaligus Auditor Halal LPPOM Majelis Ulama Indonesia Provinsi DIY, menilai masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam hingga saat ini masih sering memiliki persepsi yang salah mengenai daging yang aman dan sehat termasuk produk turunannya. Untuk itu, menurutnya, masyarakat perlu tahu dan mewaspai berbagai potensi pencemaran daging haram di sekitar lingkungannya.
“Terkadang para oknum penjual pun karena hanya ingin mendapat keuntungan besar menjual berbagai produk makanannya yang belum tentu aman dan halal,” ujarnya di Fakultas Peternakan UGM, Senin (14/2).
Menurut Nanung di masyarakat saat ini ada beberapa potensi pencemaran daging haram yang perlu diwaspadai. Untuk produk daging sapi misalnya, sepertinya harus bisa dipastikan bahwa daging tersebut disembelih secara syar’i. Masyarakat harus bisa memastikan juga bahwa daging yang mereka konsumsi bukan daging babi dan bukan bangkai dan bukan daging sapi gelonggongan.
Untuk bisa membedakan daging sapi dan babi, kata Nanung, bisa diamati dari warna daging. Daging sapi berwarna merah tua sedangkan daging babi merah muda, selain itu dari aroma daging sapi beraroma harum khas daging sapi sedangkan daging babi beraroma tengik dan pesing.
“Serat daging sapi tebal sementara daging babi berserat lembut sehingga dagingnya empuk. Ini hal-hal penting yang harus diperhatikan sebagaimana juga pernah saya sampaikan saat menerima kunjungan dosen dan mahasiswa Universitas Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur di kampus Fakultas Peternakan UGM belum lama ini,” katanya.
Untuk daging kambing, Nanung juga berharap agar masyarakat bisa memastikan bahwa daging tersebut tidak tercemar dengan daging anjing. Begitu pula pemahaman soal daging ayam, masyarakat diharapkan juga harus tahu betul istilah daging ayam bangkai atau ayam tiren (mati kemarin).
Ada beberapa ciri ayam bangkai, diantaranya harga murah, mudah berbau busuk menyengat, warna kulit putih kusam kelabu, warna daging putih kelabu pucat, tekstur daging mudah rusak, dan tidak ada bekas sembelihan di leher. Sementara beberapa potensi pencemaran lain ialah penggilingan daging yang campur dengan produk non halal seperti daging babi, kuas pengoles bumbu yang terbuat dari bulu babi, kikil dan krecek dari babi, mengolah daging dengan menggunakan arak masak, serta masakan swike (daging katak).
“Karenanya masyarakat patut mewaspadai berbagai produk olahan yang berpotensi tercemar daging babi, seperti sosis, rolade, galantine, lumpia solo, dan bakso. Juga harus tahu berbagai jenis olahan masakan daging anjing, sebab di tiap daerah berbeda-beda dan seringkali konsumen tidak paham,” ucapnya.
Nanung menyebut untuk saat ini setidaknya ada 13 potensi pencemaran daging haram dengan bermacam variasinya. Bahkan, kondisi di Jogjakarta dinilai begitu tinggi karena ketidaktahuan masyarakat dan berbagai sikap yang cenderung permisif.
Menyitir hasil penelitian Prof. Yuny Erwanto, Ir., S.Pt., MP., Ph.D., IPM., dosen Fakultas Peternakan UGM memperlihatkan 20 sampel warung di Jogja terdapat 8 sampel (warung) menggunakan daging babi. Demikian pula penelitian drh. Sidna Artanto, M.Biotech, dosen Fakultas Kedokteran Hewan UGM yaitu dari 12 sampel warung yang disurvei terdapat 6 warung positif menggunakan daging babi untuk campuran.
Beberapa penggilingan daging di pasar-pasar di Jogja pun disinyalir melakukan penggilingan percampuran dengan daging haram. Kasus pernah ditemukan di penggilingan daging Pasar Beringharjo Jogja.
“Saat itu saya masih menjadi anggota Masyarakat Ekonomi Syariah dengan difasilitasi BI Jogja mempertemukan pengurus pasar serta asosiasi hotel Jogja. Di luar dugaan pengurus pasar mengakui dan mengiyakan soal tersebut. Kalau di Pasar Pathuk Jogja sudah tidak mengherankan tidak ada yang tidak dicampur, artinya semua penggilingan campur daging babi,” ungkapnya.
Nanung mengakui para petugas pasar sesungguhnya sudah melakukan pengawasan, tetapi terkadang ada yang lepas pengawasan. Karena bagaimanapun para pelaku pencampuran daging haram dengan berbagai variasi dan produknya selalu sembunyi-sembunyi.
Oleh karena itu, ia berharap masyarakat untuk meningkatkan literasi terkait soal produk haram dan halal. Masyarakat bisa juga menghadiri majelis-majelis yang membahas soal ini.
“Ya setidaknya untuk beli daging giling misalnya belilah yang bersertifikat halal. Bukan yang abal-abal tapi resmi dari MUI atau Kementerian Agama, karena kita tahu ada istilah halal self declare, dibilang halal ternyata tidak halal dan masyarakat terkadang tidak tahu soal ini,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho