Prof. Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sastra dan Gender pada Fakultas Ilmu Budaya UGM. Dalam pengukuhan yang berlangsung secara terbatas, ia menyampaikan pidato berjudul Maskulinitas Transformatif: Kekerasan dan Subyek Yang Bergerak Dalam Dinamika Sastra dan Budaya.
Dalam pidatonya ia menyampaikan berbagai hal menyangkut soal kajian sastra Perancis, kajian gender dan analisis wacana kritis sebagai kajian-kajian yang menjadi perhatiannya selama ini. Dirinya mencoba mengelindan ketiganya dengan tidak mengonsentrasi pada salah satunya.
“Mengingat pidato saya ini juga diakses tidak hanya oleh kalangan akademisi, maka saya pun ingin mengangkat satu isu yang menurut saya lebih kontributif bagi masyarakat luas,” ucap Wening di Balai Senat UGM, Kamis (17/2).
Melihat berbagai peristiwa kekerasan akhir-akhir ini dengan segala intensitasnya tentu menjadi sebuah persoalan. Sebagai seorang akademisi yang mempelajari sastra, ia melihat bahwa semua orang adalah pewaris dari dinasti kekerasan yang narasinya ditransmisikan lewat berbagai cerita, baik secara oral, tertulis maupun visual.
“Kita adalah pewaris cerita-cerita epik dan kepahlawanan dari berbagai belahan dunia yang hadir dalam memori sejak kanak-kanak. Dimana berbagai narasi budaya, politik, media, serta narasi luas dalam kehidupan kita sehari-hari mencerminkan beroperasinya kekerasan yang seringkali dijadikan mekanisme dalam penyelesaian masalah oleh habitus masyarakat kita,” ujarnya.
Bahkan, narasi-narasi tersebut, disebutnya, dikonsumsi sepanjang hari lewat pesan-pesan virtual dan beredar tanpa batas di media sosial. Subjek-subjek yang mentransmisikan pun kadang adalah mereka yang justru secara sosial dipercaya sebagai pembawa pesan yang diharapkan kontributif, seperti para pamong, politisi, figur publik, ataupun para pemimpin agama.
“Kita berada di dalam satu bingkai ruang kekerasan yang menumbuh dalam kerangka berpikir dan dalam praksis kehidupan kita, dan narasi-narasi kekerasan tersebut dalam sastra diproduksi dan direproduksi dalam berbagai bentuk,” paparnya.
Wening menyebut sebagian dari kita seringkali tidak menyadari kehadiran narasi ini sebagai sebuah tindakan yang bersifat toxic (beracun) yang berbahaya. Ketidaksadaran tersebut terjadi karena sebuah mekanisme performatif berupa kecenderungan mengulang-ulang skrip kekerasan tanpa mempertanyakan mengapa kita harus mengonsumsinya.
“Kita pun seringkali juga menjadi subjek yang turut mentransmisikan budaya kekerasan. Cara-cara kita mempreservasinya juga terfasilitasi oleh produk-produk kapitalisme, seperti telepon seluler yang ada karena kita menciptakan keberadaannya,” ungkapnya.
Narasi-narasi sastra dan budaya akan dapat berfungsi melalui penarasiannya yang berbeda-beda. Mengenalkan friendly subjects sebagai narasi yang kuat lewat sastra, berbagai lini media, sistem-sistem pendidikan, baik di tingkat sekolah, keluarga, maupun dalam percakapan masyarakat di keseharian dapat menjadi mekanisme yang akan berfungsi lebih tahan lama dibanding penegakkan hukum ketika terjadi pelanggaran dalam berbagai bentuk kekerasan.
“Tidak ada yang mudah dilakukan apalagi ketika struktur berpikir kita sudah sedemikian dalam mempercayai suatu pola berpikir tertentu. Hal tersebut tentu bukan suatu kemustahilan untuk dilakukan mengingat kita semua memiliki potensi sebagai subjects in process dan transformative subjects,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto