Biaya pelayanan kesehatan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama tahun 2014 hingga 2020, biaya penyakit tidak menular sebesar 118,16 triliun rupiah atau meningkat 18 persen – 25 persen tiap tahun.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat beberapa penyebab biaya katastropik menempati urutan teratas dalam klaim biaya pelayanan kesehatan JKN-KIS. Pembiayaannya meningkat sekitar 25-31 persen dari total biaya pelayanan JKN-KIS sejak 2014.
Peningkatan ini tentu disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain meningkatnya populasi usia lanjut dan prevalensi penyakit kronis, kurang kuatnya pengendalian biaya, dan perkembangan inovasi teknologi kesehatan yang sangat pesat.
“Tercatat ada 8 penyakit penyebab biaya katastropik yang paling banyak menyerap dana jaminan sosial kesehatan di tahun 2020,” ujar Prof. Dr. Apt. Tri Murti Andayani, Sp.FRS di ruang Balai Senat, Rabu (2/3) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Farmasi UGM.
Terkait hal tersebut, ia menjelaskan pada tahun tersebut BPJS membayarkan 19,9 juta kasus katastropik dengan biaya sebesar 20 triliun rupiah atau 25 persen dari total biaya klaim layanan kesehatan JKN-KIS. Ia menyebutkan penyakit katastropik merupakan penyakit yang membutuhkan biaya tinggi dan dapat menyebabkan komplikasi yang mengancam jiwa.
“Penyakit jantung menempati urutan pertama dengan 12,9 juta kasus dan menyerap anggaran 9,8 triliun rupiah diikuti penyakit kanker dengan 2,5 juta kasus menyerap biaya 3,5 triliun rupiah, dan stroke dengan jumlah kasus mencapai 2 juta dengan menghabiskan anggaran 2,5 triliun rupiah,” terangnya.
Kepala Laboratorium Farmakoterapi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi UGM dalam pidatonya menyebut inovasi teknologi kesehatan merupakan salah satu penyebab utama dari tingginya biaya pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, tinggi dan meningkatnya biaya pelayanan kesehatan tidak selalu berkonotasi negatif sebab peningkatan biaya ini tentu disertai dengan meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan dan outcome kesehatan yang semakin baik.
Meningkatnya kenaikan biaya kesehatan melebihi pertumbuhan tentu memerlukan pilihan teknologi kesehatan yang memberikan manfaat sepadan dengan biaya dan prioritas dimasukkan dalam paket benefit. Harus dipastikan bahwa teknologi kesehatan aman, efektif dan cost-effective.
Ia memastikan inovasi pengembangan obat baru dengan biaya tinggi akan terus meningkat dan akan meningkatkan beban ekonomi bagi pelayanan kesehatan. Oleh karena itu, menurutnya, diperlukan kendali mutu dan kendali biaya.
“Kajian farmakoekonomi dapat menyajikan indikasi terapi yang relatif efisien dengan membandingkan biaya dan konsekuensi dari beberapa alternatif program dan intervensi,” paparnya.
Kajian farmakoekonomi ini mampu mendeskripsikan keseimbangan biaya dan luaran dari satu intervensi dibandingkan intervensi yang lain yang dapat digunakan sebagai bukti dalam pengambilan keputusan untuk alokasi dana yang tersedia secara efisien dan efektif. Beberapa kajian yang dilakukan dapat membantu pengambilan kebijakan dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas pada tingkat makro, meso dan mikro.
Pada tingkat makro dapat membantu pemerintah dalam menentukan pengeluaran pada sektor yang memberikan ‘value for money’ yang paling baik maupun negosiasi harga antara pihak pembayar dan pemberi pelayanan (tingkat meso). Peran lainnya dapat memperluas indikasi medik, misal menentukan pada kelompok pasien apa suatu terapi cost-effective, dan dalam manajemen proses pelayanan kesehatan.
“Oleh karena itu, untuk melakukan kajian teknologi kesehatan diperlukan sumber data dan metode yang paling akurat sehingga didapatkan informasi cost-effectiveness yang relevan serta bernilai,” tuturnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto