Upaya tanggap terhadap pandemi di masa depan perlu melibatkan Apotek Komunitas. Keterlibatan Apotek Komunitas ini dinilai memegang peranan penting dalam merespons kebutuhan masyarakat di masa pandemi.
Meski begitu, Apotek Komunitas perlu mengakses pedoman dan sarana pelindung diri yang lebih memadai. Demikian hasil penelitian terbaru Protecting Indonesia From The Threat of Antibiotic Resistence (PINTAR) terhadap peran Apotek Komunitas dalam situasi pandemi di masa depan.
Apotek komunitas dan toko obat swasta dapat membantu mengurangi beban fasilitas sistem kesehatan di saat pandemi melalui pemberian saran serta obat yang akurat dan tepat kepada pasien. Untuk menjalankan fungsi tersebut secara efektif, pemerintah perlu meningkatkan upaya pelibatan apotek komunitas dalam upaya tanggap wabah/pandemi dan membekali mereka dengan pedoman yang tepat dan sarana seperti alat pelindung diri yang memadai.
Hal tersebut berdasar hasil kajian dari para peneliti Australia, Indonesia, dan Inggris yang menganalisis pengetahuan dan praktik dari 4.716 apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (TTK) di 34 provinsi di Indonesia. Analisis dilakukan melalui survei secara daring dengan sepertiga responden tinggal di Pulau Jawa, yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga Agustus 2020, dan hasilnya telah dipublikasikan di jurnal The Lancet Regional Health – Western Pacific.
dr. Yusuf Ari Mashuri dari Universitas Sebelas Maret, Surakarta, salah satu peneliti dalam survei ini mengungkapkan tim peneliti menilai bahwa ketika apoteker dan TTK memiliki akses pada pedoman dan informasi yang tepat, banyak dari mereka berkeinginan untuk aktif dalam upaya penanggulangan wabah, misalnya dengan memberikan saran pada pelanggan, membagikan leaflet, dan ikut serta dalam kegiatan surveilans.
“Karenanya saran dari para pakar kesehatan menyebut peran mereka sangat penting untuk bisa membantu menanggulangi adanya kesalahan informasi, seperti di saat merebak informasi terkait Covid-19 yang tersebar di media sosial,” katanya, Selasa (22/3).
Yusuf Ari pun menyebut penelitian ini mengungkap kerentanan dari proses distribusi alat kesehatan untuk pencegahan infeksi, seperti hand sanitizer dan alat pelindung diri (APD). Hal ini merupakan sebuah tantangan yang dialami oleh banyak negara berkembang di awal pandemi.
Sementara itu, Prof. Tri Wibawa dari FKKMK UGM menyatakan Apotek Komunitas dan toko obat sebagai tujuan pertama masyarakat mendapatkan pengobatan. Apotek Komunitas dan toko obat ini memainkan peran penting dalam melayani masyarakat karena sering menjadi tempat pertama yang dituju untuk mencari pengobatan, terutama di daerah dengan akses layanan kesehatan yang terbatas.
“Banyak survei yang meneliti mengenai perilaku dan pengalaman para tenaga kerja kesehatan di sektor publik selama pandemi COVID-19, tetapi masih sedikit yang berfokus pada apoteker dan TTK yang bekerja di apotek komunitas dan toko obat,” terangnya.
Oleh karena itu, katanya, penelitian yang mereka lakukan menunjukkan betapa penting keberadaan Apotek Komunitas dan toko obat di garda depan layanan kesehatan dan tantangan yang mereka hadapi selama pandemi di Indonesia saat ini. Hasilnya penelitian berhasil memberikan kontribusi penting bagi komunitas ilmiah.
“Survei kami merupakan salah satu survei terbesar pada apoteker dan TTK yang bekerja di Apotek Komunitas dan toko obat di Asia Tenggara selama pandemi COVID-19,” ujar Guru Besar FKKMK UGM yang juga memimpin survei ini.
Ia menambahkan apoteker dan TTK saat ini dituntut untuk berperan lebih aktif dalam merespons peningkatan risiko kesehatan di masyarakat yang semakin tinggi, termasuk dalam surveilans wabah, edukasi kesehatan, uji coba obat, pemberian vaksin, tes diagnostik, dan program untuk mendukung pasien patuh dalam pengobatan. Peran tersebut menjadi penting terutama ketika pelayanan kesehatan klinis yang sedang sangat terbebani, khususnya di negara dengan sumber daya kesehatan yang terbatas.
Hasil survei menunjukkan Apotek Komunitas dan toko obat dalam usaha mencegah resistensi antibiotik memperlihatkan ada banyak penderita Covid-19 yang menggunakan antibiotik dengan mendatangi apotek komunitas dan toko obat di Indonesia. Masalah tersebut tentu mengkhawatirkan dan dapat meningkatkan ancaman resistensi antimikroba karena antibiotik bukanlah obat yang efektif untuk virus.
“Kurang lebih sepertiga responden menyebutkan bahwa mereka telah memberikan antibiotik kepada pasien yang diduga menderita COVID-19,” jelasnya.
Bahkan dalam survei terungkap TTK lebih sering melaporkan penjualan obat resep dokter termasuk antibiotik dibandingkan apoteker. Mereka memang memiliki wewenang dan terlatih dalam memberikan resep obat, untuk melaporkan penjualan obat dengan resep dokter termasuk antibiotik.
Tri Wibawa menyebut saat ini terdapat sekitar 135.000 Apotek Komunitas dan toko obat berizin di Indonesia. Meski regulasi di Indonesia melarang penjualan antibiotik secara bebas, tetapi pemberian antibiotik tanpa resep merupakan hal yang umum terjadi.
“Penelitian inipun menunjukkan adanya peningkatan penggunaan antibiotik yang tidak tepat oleh masyarakat selama pandemi Covid-19,” ungkapnya.
Profesor Virginia Wiseman, dari Kirby Institute di University of New South Wales (UNSW) Sydney dan London School of Hygiene and Tropical Medicine, yang juga turut memimpin survei, ini menambahkan pandemi Covid-19 maupun peningkatan resistensi antimikroba yang berkelanjutan merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, menurutnya, perlu adanya respons yang melibatkan seluruh sistem kesehatan.
Di beberapa negara seperti Indonesia, ia mengatakan Apotek Komunitas dan toko obat merupakan bagian penting dari sistem kesehatan sehingga harus dimobilisasi secara cepat. Berbagai peran yang diemban selama pandemi harus diintegrasikan dengan baik ke dalam penanganan pandemi secara nasional.
“Saat ini adalah waktu yang ideal bagi negara seperti Indonesia untuk mulai melakukan integrasi dari hal tersebut,” harapnya.
Disebutnya survei Covid-19 ini merupakan bagian dari PINTAR (Protecting Indonesia from the Threat of Antibiotic Resistance), sebuah penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pemberian antibiotik secara bijak di masyarakat dan mencegah perluasan resistensi antimikroba. Penelitian PINTAR ini dilakukan secara kolaboratif antara Kirby Institute dari University of New South Wales (UNSW) Australia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Sebelas Maret, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, London School of Hygiene & Tropical Medicine, University College London di Inggris, dan George Institute for Global Health di UNSW Sydney.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : ZONAUTARA.Com