Presidensi G20 Indonesia 2022 merupakan salah satu perhelatan dunia yang membahas 3 isu penting, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi digital dan transisi energi berkelanjutan. Sebagai salah satu negara dengan jumlah penduduk yang menempati urutan 5 besar dunia (BPS, 2020), Indonesia memiliki peran penting dalam keanggotaan G20.
Mendiskusikan secara khusus soal arsitektur kesehatan global tentu melibatkan upaya untuk mewujudkan ketangguhan masyarakat mulai dari entitas individu, keluarga hingga masyarakat global. Indonesia dengan struktur demografi yang cukup besar saat ini mengindikasikan bahwa potensi ancaman tidak hanya diakibatkan oleh pandemi, melainkan juga tingginya kasus stunting dan lemahnya penguatan gender yang berpotensi melemahkan ketangguhan keluarga.
Dalam rangka merespons tantangan tersebut, Fakultas Geografi UGM menyelenggarakan seri ministerial lecture bertemakan “Presidensi G20 Indonesia: Peningkatan Ketahanan Kesehatan Keluarga dan Penguatan Peran Gender Berbudaya”. Ministerial lecture digelar dengan tujuan memberikan kontribusi yang lebih komprehensif terkait dengan isu atau tantangan permasalahan kesehatan masyarakat Indonesia, khususnya “stunting” dan “penguatan peran gender berbudaya”.
Lenny N. Rosalin, S.E., M.Sc., M.Fin, Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan perspektif gender merupakan cara pandang atau gambaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran, tanggung jawab, kebutuhan, pengalaman, kondisi yang berbeda yang perlu dipertimbangkan dalam bersikap dan bertindak, baik terkait dengan kebijakan, program dan kegiatan-kegiatan yang semua bisa menempel baik pada diri maupun institusi dimana berada. Meski sudah ada peningkatan, namun menyangkut kesenjangan gender ini diakui masih cukup tinggi di masyarakat.
“Faktor kesenjangan gender ini dapat kita lihat dari akses, partisipasi, kontrol dan manfaat atau sering disingkat AKPM. Dalam hal akses, misalnya merupakan peluang bagi laki-laki dan perempuan dalam menjangkau atau memperoleh sumber daya pembangunan,” ujarnya, Rabu (27/4).
Ia menambahkan meski sudah melakukan ratifikasi segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan tetapi diskriminasi tetap saja masih terjadi. Meski telah meratifikasi dengan lahirnya Undang-undang No 7 tahun 1984, tetapi diskriminasi masih saja terjadi baik di rumah, di ruang publik, tempat kerja dan lain-lain.
“Artinya sudah hampir 40 tahun, tetapi diskriminasi itu masih saja terjadi. Bentuknya macam-macam dan jika dikelompokkan ada 5 besar, yaitu menyangkut marginalisasi, subordinasi, beban ganda, kekerasan dan stereotyping,” terangnya.
Dari tolok ukur yang dilakukan oleh beberapa lembaga, Lenny mengakui meski ada peningkatan tetapi gap kesenjangan relatif sama. Data Global Gender Gap Index tahun 2021 memperlihatkan skor yang mengalami peningkatan dibanding data 5 tahun sebelumnya dan ranking masih 101 dengan angka 0,688.
“Sementara HDI Human Developmen Index, yang mengukur dari sisi kesehatan, pendidikan dan ekonomi dengan variable yang berbeda, Indonesia berdada pada peringkat 107 dari 189 negara atau peringkat 6 dari 10 negara Asean. Ini tentu menjadi tantangan kita apalagi saya sebagai ketua komite untuk kesetaraan gender di Asean,” paparnya.
dr. Irma Ardiana, MD., M.APS, Direktur Bina Keluarga Balita & Anak, BKKBN, mengatakan sebuah negara dikatakan mengalami bonus demografi jika dua orang penduduk usia produktif (15-64 tahun) menanggung 1 orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih). Jendela peluang itu sudah terbuka pada 2012 dan akan tertutup pada tahun 2037.
“Jika kita melihat kurva yang ada saat ini, kita mengalami titik terendah pada tahun 2020 – 2025, pertanyaannya apakah kita akan menuju kualitas hidup yang diharapkan atau justru sebaliknya,” ucapnya.
Terkait stunting, Irma menyebut target RPJM penurunan dalam lima tahun lalu 37 persen, dan sudah menjadi 27,6 persen di tahun 2019. Pada tahun 2024 diharapkan sebanyak 14 persen sesuai target SDGs.
“Pada tahun 2021 sudah terbit angka 24,4 persen meskipun masih menyisakan gap dari target yang ditetapkan yaitu 21,1. Kalau kemudian kita punya keinginan menjadi 14 persen di tahun 2024 maka kecepatan harus kita tingkatkan,” katanya.
Irma menyebut pada tahun 2015 – 2019 laju penurunanan hanya 0,3 persen. Dengan kondisi posisi saat ini dan tuntutan penurunan per tahun sebesar 3,4 persen tentu menimbulkan pandangan skeptik dengan pertanyaan apakah target ini tidak ambisius?
Meski begitu, katanya, Indonesia harus tetap optimis dengan belajar dari pengalaman negara-negara lain yang mampu menurunkan prevalensi stunting sebesar itu. Sementara itu, estimasi WHO untuk prevalensi penurunan stunting per tahun rata-rata secara global hanya sekitar 0,5 persen, dan paling tinggi di Asia 0,7 persen, artinya masih dibawah 1 persen.
Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari praktik baik negara-negara tertentu yang mampu menunjukkan dan fokus pada prevalensi penurunan stunting. Tentunya dengan intervensi-intervensi mampu memiliki dampak yang luar biasa.
“Misalkan saja, kita bisa belajar dari Peru yang mampu menurunkan 4,25 persen prevalensi stunting khususnya pada baduta di daratan Amazon. Kita bisa membayangkan betapa sulitnya akses untuk kesehatan dan gizi di daratan Amazon. Mereka fokus sekali pada keluarga miskin, dan mereka bisa mengintegrasikan antara jaminan kesehatan dengan jaminan sosial,” paparnya.
Penulis : Agung Nugroho