Edia menjelaskan bahwa pewarna alami telah digunakan sejak awal peradaban manusia. Saat ini pewarna alami kembali banyak digunakan di industri makanan, fashion, tekstil, farmasi, kosmetik dan kesehatan. Pewarna alami disukai karena keunggulannya, antara lain aman, renewable dan biodegradable. Selain itu prospek penggunaan kembali ke pewarna alami di ranah global sesuai dengan beberapa semboyan yang ada. Beberapa diantaranya seperti go back to nature, slow fashion, go green, eco green, dan sebagainya. Tak hanya itu, penggunaan kembali pewarna alami sejalan dengan isu SDGs.
Researchandmarket.com (2019) melaporkan bahwa pasar pewarna alami global diperkirakan akan menghasilkan pendapatan sekitar US$ 5 milyar pada tahun 2024, tumbuh rata-rata per tahun sekitar 11% selama 2018-2024. Gelombang peningkatan jumlah konsumen yang sadar lingkungan telah mengarah pada penerapan pewarna alami dalam pakaian, makanan, minuman, produk kecantikan, kesehatan & kebugaran, dan produk obat-obatan di pasar Amerika Utara. Meningkatnya perhatian publik terhadap pewarna alami dan adanya peraturan pemerintah yang ketat tentang lingkungan dan polusi mendorong penggunaan pewarna alami di pasar global.
Melihat perkembagan permintaan pasar global yang pesat, Edia menyebutkan produsen tradisional tidak mungkin akan bisa menjangkau pasar global. Sejumlah terobosan inovasi dalam produksi dan rantai pasok diperlukan untuk bisa membawa produk pewarna alami sampai di pasar global. Di samping itu, kebijakan untuk mengarusutamakan penggunaan pewarna alami juga diperlukan untuk mendorong tumbuhnya pasar di dalam negeri.
“Saat ini pemenuhan kebutuhan zat warna untuk industri tekstil di Indonesia sebagian besar masih mengandalkan impor. Data Badan Pusat Statistik tahun 2021, rerata impor zat warna sintetik selama 5 tahun terakhir mencapai lebih dari 42.000 ton/tahun,”paparnya.
Sementara di sisi lain, Indonesia memiliki budaya warisan adiluhung penggunaan pewarna alami yang aman dan senyawa yang terkandung bermanfaat bagi tubuh. Selain itu Indonesia memiliki kekayaan alam dan biodiversitas yang merupakan bahan baku pembuat zat warna alami, sehingga Indonesia pernah sebagai penghasil pewarna alami blue indigo terbesar di pasar dunia pada saat penjajahan Belanda dari tahun 1602 sampai 1942. Untuk saat ini, kurang lebih ada 150 jenis pewarna alami di Indonesia yang telah diidentifikasi
“Sumber bahan baku pewarna alami di Indonesia luar biasa melimpah. Namun begitu, saat ini pemanfaatannya masih sangat terbatas hanya oleh beberapa pengrajin batik, jumputan, ulos, tenun, dan kerajinan lainnya,”ungkap ketua Indonesia Natural Dye Institute (INDI) UGM ini.
Edia mengatakan Indonesia memiliki potensi, prospek, dan peluang pewarna alami yang sangat besar. Namun, pada kenyataanya kondisi yang ada kontras dengan produksi dan aplikasi pewarna alami di Indonesia. Apabila mendengar kata pewarna alami biasanya yang muncul dalam benak kita berkaitan dengan tradisional, sederhana, kecil, berkualitas rendah, tidak praktis, sulit diperoleh, dan sebagainya.
Lebih lanjut Edia menyampaikan banyak tantangan hilirisasi hasil penelitian menjadi produk komersial dan teraplikasikan dalam masyarakat. Kondisi ini sering diilustrasikan dengan adanya lembah kematian yang memisahkan antara hasil penelitian dan produk komersil. Untuk menyeberangi lembah kematian tersebut diperlukan kerjasama mutualistik dari berbagai pihak, yaitu akademisi, komunitas wirausaha, pengusaha, dan pemerintah. Selain empat elemen tersebut, pada saat ini keberadaan media juga sangat berperan dalam usaha hilirisasi hasil penelitian menjadi produk komersial.
Sinergi pentahelik sangat diperlukan untuk dapat melewati “valley of death” tersebut. Usaha yang perlu dilakukan dalam sinergi tersebut mencakup pembangunan rantai pasok dari hulu sampai hilir, memperkuat kerjasama mutualistik antara produsen, konsumen, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat, dan membangun kesadaran penggunaan kembali pewarna alami. Lalu, akselerasi penggunaan pewarna alami sebagai produk berbasis kearifan lokal, kompetitif, dan berkelanjutan, dan kebijakan untuk mengarusutamakan penggunaan pewarna alami di dalam negeri dan mengurangi impor pewarna sintetis yang sangat besar sampai saat ini. Dengan demikian Indonesia tidak lagi menjadi pasar pewarna sintetis yang sebenarnya telah dilarang penggunaannya sejak tahun 1994 karena bersifat karsinogen. Selanjutnya cita-cita mulia terbangunnya generasi sehat dan kedaulatan bangsa dalam pewarna alami dapat terwujud.
Untuk menghidupkan lagi pewarna alami UGM mendirikan Institut Pewarna Alami Indonesia atau Indonesia Natural Dye Institute Universitas Gadjah Mada yang selanjutnya disebut dengan INDI-UGM merupakan grup riset multidisiplin dalam bidang pewarna alami di UGM. Beberapa penelitan telah dilakukan sejak tahun 2003 yakni budi daya tanaman, teknologi produksi, teknologi aplikasi pewarnaan, ekonomi, sosial, dan budaya. Pada tahun 2021 INDI UGM memantapkan kelembagaanya dengan menjadi Pusat Unggulan IPTEKS Perguruan Tinggi Orientasi Produk (PUI-PTOP) Pewarna Alami di Indonesia.
Penulis: Ika