Ilmu fisika citra (physics of imaging) dikenalkan sebagai mazhab baru ilmu fisika terapan guna melihat, memeriksa, mengukur, menganalisis, dan merekonstruksi isi dan gejala di alam yang tidak terlihat menjadi terlihat oleh indra mata manusia. Dengan merekam interaksi antara suatu objek dengan gelombang elektromagnetik atau gelombang mekanik, objek divisualisasikan sehingga bentuk, isi, asal-usul dan perubahannya lebih mudah dimengerti dan terlihat lugas dan polos sebagaimana adanya.
Ilmu Fisika Citra mendasari pengembangan alat visualisasi sederhana hingga teknologi canggih alat radiografi, CT scan, Ultrasonografi, Lidar, Sonar, Radar, NMR dan lain-lain. Melalui visualisasi, ilmu fisika yang sulit dapat digunakan untuk memeriksa kualitas kesehatan orang dan kualitas produk yang dikonsumsi masyarakat.
“Fisika tentang Sinar-x yang sulit dipahami awam ketika dikemas dalam bentuk ilmu Fisika Citra menjadi ilmu menarik karena sangat bermanfaat untuk menghasilkan alat diagnose medis dan alat uji mutu produk-produk yang dikonsumsi masyarakat,” ujar Prof. Drs. Gede Bayu Suparta, M.S., Ph.D, di Balai Senat, Selasa (14/6) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas MIPA UGM.
Meski bermanfaat, kata Bayu, terjadi paradoks pemikiran dimana sinar-X yang sebenarnya bermanfaat. Sinar-X dianggap sama dengan radiasi nuklir yang dapat menyebabkan kemandulan, kanker, penyakit, hingga kematian. Ditambah lagi, pemerintah menterjemahkan ke dalam regulasi yang ketat sehingga sangat menyulitkan untuk pemanfaatan sinar-X di masyarakat.
Menurutnya paradoks ini perlu diperbaiki dan diluruskan agar masyarakat tidak takut lagi bila mendengar kata “sinar-X”. Masyarakat diharapkan agar lebih berani memanfaatkannya untuk membantu memperbaiki kualitas kesehatan manusia dan peningkatan kualitas produk industrinya guna mendukung pembangunan peradaban Indonesia Maju.
“Saat ini, kualitas produk Indonesia diuji dan diperiksa menggunakan alat uji produk luar negeri yang canggih, mahal, perlu operator terlatih, dan Indonesia dianggap tak bisa membuat,” katanya.
Menurutnya, pemerintah Indonesia harus mendorong terbentuknya SDM yang mampu membuat alat-alat uji yang kinerjanya cepat, sederhana, langsung, dan harganya sangat terjangkau agar kualitas produk dalam negerinya terjaga, sehat, aman, dan selamat. Kemampuan Indonesia membuat alat-alat uji sendiri seperti radiografi digital (DR) dan tomografi komputer (CT scan) yang tak merusak sampel akan mendorong dihasilkannya produk-produk dalam negeri yang konsisten dan setara dengan kualitas produk negara maju.
“Berkat ilmu fisika citra, Departemen Fisika FMIPA UGM selama ini berhasil mengembangkan inovasi alat Radiografi Sinar-X Fluoresens Digital (RSFD) yang dikenalkan sebagai teknologi DDR Madeena dan siap diproduksi oleh PT Madeena Karya Indonesia,” ucapnya.
Teknologi DDR Madeena ini bisa dikompetisikan dengan alat computed radiography (CR) yang menggunakan phosphor storage plate, dan direct radiography (DR) yang menggunakan flat detector. Proses radiografi alat RSFD terjadi sangat cepat dan langsung, kualitas citra memadai sesuai spesifikasi tujuannya, dosis radiasi rendah, daya listrik rendah dan dapat diproduksi dengan biaya yang kompetitif.
Sayangnya, keunggulan teknologi DDR Madeena tidak disambut ramah oleh regulasi pemerintah yang ada sehingga proses hilirisasi dan komersialisasi tidak mudah. Padahal, alat DDR Madeena dapat menjadi alternatif skrining (screening) kesehatan secara cepat, masif, intensif, dan mandiri.
“Proses skrining adalah tahapan penting proses medical check-up yang dapat dijalankan oleh unit fasilitas kesehatan primer (puskesmas). Jika alat skrining menunjukkan indikasi perlunya pemeriksaan diagnostik yang lebih intensif maka pemeriksaan lanjut dapat dilakukan oleh rumah sakit dengan alat-alat yang lebih canggih,” ungkapnya.
Ketersediaan alat skrining yang relatif murah, tersedia di banyak puskesmas dan rumah sakit tipe C/D, hingga merata di berbagai daerah, dan terkoneksi satu sama lain melalui sistem teleradiologi (telediagnostik) nasional akan memungkinkan seluruh rakyat memperoleh akses layanan pemeriksaan kesehatan yang merata dan adil. Pelaksanaan skrining kesehatan menggunakan RFSD yang telah mengadopsi protokol new normal didukung teknologi Digital Industry 4.0 tentunya akan mengurangi interaksi antara pasien dengan operator, mendorong lebih banyak orang bekerja dari rumah.
Dengan cara ini, katanya, jumlah orang yang diskrining per alat dapat ditingkatkan, waktu tunggu pasien lebih singkat, produktivitas radiografer dan tenaga medis meningkat, tingkat keselamatan dan kenyamanan kerja tenaga medis meningkat, dan dokter radiologi dapat bekerja dari jarak jauh. Lingkungan Digital Society 5.0 akan mendorong semakin banyak layanan yang terpusat di rumah sakit dapat ditarik ke puskesmas.
“Dengan begitu maka akan banyak lapangan kerja baru dan profesi baru dalam lingkup promosi kesehatan muncul,” jelasnya saat menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Ilmu Fisika Citra Untuk Mendukung Pembangunan Berkualitas Manusia Indonesia dan Produk Nasional.
Untuk itu, sebutnya, kebutuhan alat skrining RSFD bagi 273 juta penduduk Indonesia yang berada dalam lingkungan yang berbeda secara geografis dan demografis perlu ditingkatkan. Penelitian, pengembangan, rekayasa, kajian dan terapan (litbangyasajirap) teknologi RSFD juga perlu terus diintensifkan dan berkelanjutan agar dihasilkan teknologi yang makin efektif, efisien dan bermanfaat tinggi.
“Teknologi RSFD potensial dikembangkan sebagai platform teknologi pada berbagai alat radiografi diagnostik untuk orthopedic, pediatric, geriatric, dental radiography, mammography, angiography, dan simulator terapi kanker, serta alat CT scan resolusi tinggi berkinerja tinggi di masa depan,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto