Peningkatan laju urbanisasi dan pesatnya globalisasi, termasuk perjalanan dan perdagangan internasional, menyebabkan area transmisi sebagian besar penyakit parasit kian meluas. Guru Besar Ilmu Parasitologi FKKMK UGM, Prof. dr. Tri Baskoro Tunggul Satoto, M.Sc., Ph.D., menjelaskan penyakit parasit merupakan jenis penyakit yang mendominasi kelompok Neglected Tropical Diseases (NTDs), dimana kelompok penyakit yang menginfeksi populasi dengan sanitasi buruk dan kondisi sosioekonomi rendah, terutama di negara-negara tropis. Dari kajian para peneliti diketahui ada perubahan pola distribusi penyakit parasit seiring dengan munculnya perubahan iklim dan adaptasi perilaku manusia. Utamanya, terjadi pada penyakit parasit yang ditularkan melalui gigitan artropoda sebagai vektor.
“Perpindahan manusia merupakan faktor kunci dalam transmisi penyakit tular-vektor,”tuturnya, Kamis (30/6) saat menyampaikan pidato pengukuhan dalam jabatan Guru Besar Ilmu Parasitologi FKKMK UGM di Balai Senat UGM.
Tri Baskoro mengatakan dalam perpindahan tersebut tidak hanya manusia yang dapat berperan sebagai reservoir penyakit, tetapi proses perpindahan manusia juga dapat turut membawa serta vektor penyakit ke lingkungan baru. Dalam beberapa tahun terakhir telah muncul diskusi mengenai spesies nyamuk invasif yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. Nyamuk Aedes, terutama Aedes albopictus merupakan spesies nyamuk yang dianggap paling invasif di dunia karena spesies ini memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di suhu lingkungan yang lebih rendah dibandingkan spesies nyamuk lainnya sehingga kapasitasnya sebagai vektor juga meningkat.
“Peningkatan temuan penyakit tular-vektor yang ditransmisikan melalui gigitan nyamuk Aedes albopictus dilaporkan terjadi terutama di berbagai negara di benua Eropa, dan berisiko menimbulkan wabah. Nyamuk Aedes saat ini juga dapat ditemukan di beberapa negara bagian Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama munculnya wabah penyakit chikungunya di negara bagian tersebut,”paparnya.
Persebaran nyamuk Aedes ke negara-negara non-endemis ini dapat difasilitasi oleh perjalanan manusia dan perdagangan global dengan teori utama berupa nyamuk yang ikut terbawa bersama dengan koper atau barang bawaan manusia di dalam kabin pesawat terbang ke negara lainnya. Anggapan ini diperkuat dengan studi yang dilakukan pada 2021 di Republik Moldova yang menunjukkan koleksi nyamuk Aedes dan Culex di perbatasan Romania dan di area sekitar bandara. Studi lain di 2018 juga melaporkan adanya potensi penyebaran virus Dengue pada nyamuk Aedes terinfeksi virus Dengue yang dikoleksi dari area bandara Adisutjipto Yogyakarta.
Aktivitas manusia lain yang dapat meningkatkan risiko persebaran vektor dan transmisi penyakit adalah perjalanan regional. Hal ini dibuktikan dari studi terdahulu yang menunjukkan adanya ekspansi distribusi nyamuk Aedes aegypti dari satu daerah ke daerah lainnya melalui perjalanan darat dan sungai di Peru. Kondisi ini ditunjukkan dengan ditemukannya jentik nyamuk positif virus Dengue di ovitrap perangkap telur nyamuk yang diletakkan di dalam bus dan kapal lokal. Peningkatan insidensi penyakit Dengue juga ditemukan meningkat di kota Magelang, Jawa Tengah, dalam periode 4 tahun dengan pola distribusi mengikuti jalan arteri seiring dengan urbanisasi dan perpindahan manusia ke pusat kota.
Tri Baskoro mengatakan pemahaman terkait pola dan pemodelan perpindahan manusia dalam kaitannya dengan transmisi penyakit penting untuk ditingkatkan karena hal ini dapat membantu dalam penentuan strategi pengendalian penyakit yang sesuai. Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara fisik atau mekanis, serta perubahan perilaku masyarakat dengan mempertahankan dan mengembangkan kearifan lokal. Pengendalian penyakit tular-vektor berfokus pada metode konvensional, terutama pengendalian fisik dan mekanik dengan modifikasi lingkungan perkembangbiakan nyamuk atau pengendalian secara kimiawi menggunakan insektisida. Namun, cara ini berdampak buruk bagi lingkungan selain itu juga bisa memunculkan resistensi insektisida pada vektor nyamuk.
WHO menyebutkan pengendalian nyamuk vektor dapat dilakukan dengan cara terintegrasi, misalnya pada penyakit dengue dan malaria, melalui metode pengendalian vektor terpadu. Kegiatan pengendalian vektor terpadu ini mencakup penyusunan kebijakan berbasis bukti ilmiah, penggunaan pestisida rasional, kolaborasi antarsektor terkait, serta partisipasi aktif masyarakat.
Ia menyampaikan bahwa formulasi strategi pengendalian penyakit tular-vektor berbasis masyarakat sudah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia, terutama dalam penyakit dengue dan malaria. Namun, sebagian besar program belum berjalan efektif. Di tingkat komunitas spesifik, pengawasan ketat di pelabuhan laut dan udara adalah cara pengendalian penularan penyakit yang harus ditingkatkan, audit rutin tentang regulasi dan prosedur pengawasan pintu masuk antarpulau dan antarnegara adalah salah satu kunci untuk mencegah perpindahan nyamuk vektor infeksius ke daerah lain.
Selain itu, partisipasi masyarakat masih rendah yang dimungkinkan karena kurangnya pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang pencegahan penyakit tular-vektor menjadi tantangan terhadap konsistensi dan efektivitas program pengendalian penyakit tular-vektor secara umum. Oleh sebab itu, upaya melibatkan peran masyarakat menjadi penting dalam upaya pengendalian penyakit tular vektor, termasuk peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku masyarakat.
“Kunci utama pengendalian vektor nyamuk saat ini adalah mobilisasi serta pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan yang berfokus pada kegiatan perubahan perilaku,”tuturnya.
Penulis: Ika
Foto: Firsto