oleh Dr. Rr. Siti Murtiningsih, M.Hum.
Kampus jangan memagari mahasiswa dengan terlalu banyak program studi. Hal ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo dalam acara Dies Natalis salah satu perguruan tinggi negeri (17/01/22). Hal ini sejalan dengan salah satu kebijakan Kemdikbud Ristek tentang Merdeka Belajar-Kampus Merdaka.
Pernyataan Presiden Jokowi dan juga kebijakan Kemdikbud Ristek itu bisa dilihat sebagai respons terhadap dua hal. Pertama, respons terhadap spesialisasi ilmu yang terlampau ekstrem. Kedua, respons terhadap perkembangan zaman yang persoalan-persoalannya tidak hanya menuntut solusi-solusi multidisipliner, tetapi juga interdisipliner, dan bahkan transdisipliner. Sekarang saya akan coba bahas yang pertama dan meninggalkan yang kedua untuk kesempatan lainnya.
Dua Budaya
Di Eropa, fenomena spesialisasi ilmu secara ekstrem itu terjadi di abad kedua puluh. Fenomena tersebut dipotret dengan sangat baik oleh seorang ilmuwan dan sekaligus sastrawan asal Inggris, C.P. Snow. Dalam ceramahnya yang disampaikan di Universitas Cambridge, Snow (1959) menggambarkan kehidupan intelektual masyarakat Barat yang terbelah dua antara bidang ilmu alam dan humaniora. Ia menyebutnya sebagai fenomena “Dua Budaya” (Two Cultures).
Snow mengalami sendiri betapa lebar jurang antara dua jenis kehidupan intelektual tersebut. Sebagai seorang ilmuwan alam sekaligus sastrawan, ia harus bolak-balik di antara keduanya seperti sedang melintasi samudra. Ia berkerja dengan koleganya dari ilmu alam di waktu siang dan bertemu teman-temannya sesama sastrawan di waktu malam. Di antara dua kelompok pertemanan Snow itu tak ada yang saling mengenal.
Bahkan, kata Snow dalam ceramahnya, di antara mereka bukan hanya tidak saling mengenal, melainkan juga “terkadang (terutama di antara yang muda-muda) ada permusuhan dan kebencian”. Orang-orang dari lingkar ilmu alam menganggap orang-orang humaniora tidak ilmiah, politis, dan seringkali punya pandangan suram dan pesimistik terhadap kemajuan sains, sedangkan orang-orang humaniori menganggap para ilmuwan terlalu optimistik dan tidak mengerti kondisi manusia.
Melihat jurang pemisah di antara dua bidang keilmuan itu yang teramat lebar sehingga menciptakan kecurigaan, stigma, dan bahkan kebencian, Snow berusaha membangun jembatan yang memungkinkan orang-orang dari dua bidang tersebut bisa saling bertemu, saling memahami, dan berdialog satu sama lain. Apa yang diusahakan oleh Snow ini semestinya juga dilakukan oleh orang-orang terdidik di Indonesia.
Namun, sayangnya, sampai kini kita masih menyaksikan fenomena “Dua Budaya” di dalam kehidupan intelektual kalangan terdidik Indonesia seperti yang terjadi di Eropa seabad silam. Orang-orang yang berlatar belakang ilmu alam atau eksakta jarang sekali yang mau tahu dengan isu-isu seputar humaniora atau—paling tidak—membaca karya sastra. Demikian juga orang-orang dari bidang humaniora jarang sekali yang mau mengikuti dan bersikap apresiatif terhadap apa yang diupayakan oleh para ilmuwan.
Akhirnya, dua kelompok dari dua latar belakang keilmuan ini cenderung berbicara sendiri-sendiri dalam konteks bidang keilmuannya masing-masing. Contoh mutakhirnya yang bisa kita lihat langsung adalah bagaimana mereka merespons aksi pawang hujan di acara MotoGP Mandalika pada Minggu (20/03/22). Orang-orang dari latar belakang ilmu alam cenderung bersikap negatif terhadap aksi tersebut dan menganggapnya klenik, mistik, dan tidak ilmiah. Dari sudut pandang ilmu alam, aksi tersebut memang tidak ilmiah dan, karenanya, tampak wajar jika ilmuwan alam bersikap tidak simpatik sama sekali.
Namun, di sisi lain, orang-orang dari latar belakang ilmu humaniora cenderung lebih simpatik dan apresiatif terhadap aksi pawang hujan itu dan menganggap koleganya dari ilmu alam sebagai berpandangan positivistik. Dari sudut pandang humaniora, aksi pawang hujan itu tidak bisa dinilai semata soal ilmiah atau tidak ilmiah. Sebab di luar soal ilmiah/tidak ilmiah, ada soal-soal antropologis dan sosiologis yang tidak bisa dinafikan. Semisal, soal pewarisan pengetahuan lokal, penghormatan pada leluhur, dan mata pencaharian.
Kecenderungan untuk berbicara sendiri-sendiri dari sudut pandang bidang keilmuannya masing-masing ini tampaknya sudah terkondisikan sejak dari kehidupan kampus. Mahasiswa sosial-humaniora dikondisikan untuk hanya fokus pada bidangnya sendiri tanpa harus tahu dan berdialog dengan perkembangan ilmu alam dan eksakta. Demikian juga mahasiswa ilmu alam dan eksakta dikondisikan untuk hanya fokus pada bidang keilmuannya sendiri tanpa perlu peduli dengan persoalan-persoalan humaniora.
Pengondisian semacam itu akhirnya menciptakan lulusan-lulusan yang berkacamata kuda dengan imajinasi yang naif nan sempit. Mereka cenderung menjadi orang yang tak terbiasa dengan sudut pandang berbeda dan akhirnya rentan terpolarisasi oleh perbedaan-perbedaan. Kondisi itulah yang coba direspons oleh Presiden Jokowi dan kebijakan Kemdikbud Ristek.
Teman Ilmu-ilmu
Seruan Jokowi dan juga kebijakan Kemdikbud Ristek itu merupakan iktikad baik pemerintah untuk memoderasi spesialisasi ilmu yang terlampau ekstrem. Namun, untuk sampai pada tujuan yang baik, tidak cukup hanya dengan iktikad baik. Kita juga perlu cara yang baik dan benar.
Membongkar pagar-pagar bidang keilmuan, selain bisa menetralisir spesialisasi ekstrem, juga bisa melahirkan ekses negatif berupa apa yang oleh Tom Nichols (2017) disebut “matinya kepakaran” (the death of expertise). Hanya karena pernah mengikuti satu matakuliah pengantar ekonomi makro, misalnya, seorang lulusan teknik nuklir bisa merasa punya otoritas untuk berkomentar (sesuai keyakinan personalnya) tentang krisis ekonomi selama pandemi. Atau seorang lulusan psikologi yang, karena selama kuliah pernah mengambil satu matakuliah di prodi biologi, merasa punya otoritas untuk berkomentar tentang penularan virus. Lebih buruk lagi, jika publik percaya begitu saja pada orang-orang semacam itu.
Bagaimana cara menghindari ekses negatif tersebut? Salah satu—atau mungkin satu-satunya—cara adalah dengan melibatkan satu bidang yang usianya sudah sangat tua, yaitu filsafat. Namun, ini bukan tawaran instan. Tawaran solusi ini juga memerlukan upaya untuk mereposisi filsafat itu sendiri dalam kaitannya dengan bidang-bidang keilmuan yang lain.
Di antara para penekun filsafat, ada sebuah “dogma” yang selalu diulang-ulang dengan penuh kebanggaan bahwa filsafat adalah ibu segala ilmu (the mother of sciences). Dengan “dogma” ini, para penekun filsafat sering kali merasa jemawa mengingat bidang yang ditekuninya berada di puncak piramida keilmuan. Sikap jemawa ini seringkali juga membuat penekun filsafat sibuk dengan klaim-klaim besar tapi sebenarnya kosong dan menganggap remeh bidang-bidang ilmu lain yang dianggapnya hanya turunan dari filsafat.
Karenanya, untuk menghilangkan sikap jemawa ini, kita perlu mereposisi filsafat. Seharusnya kini filsafat tidak lagi dipahami sebagai “ibu segala ilmu”, tetapi “teman ilmu-ilmu”. Sebagai teman, filsafat tak seharusnya bersikap jemawa terhadap bidang-bidang ilmu lain. Ia seharusnya mau mendengarkan apa saja yang telah ditemukan, dipelajari, dan diperdebatkan oleh teman-temannya itu. Dan sebagai yang paling tua di antara teman-temannya, filsafat memiliki tanggung jawab untuk menjadi semacam jembatan penengah.
Jika, misalnya, ada pertentangan di antara dua bidang keilmuan, maka filsafat memiliki tanggung jawab untuk mendengarkan dua-duanya dan kemudian berusaha menciptakan dialog agar tercipta landasan bersama (common ground). Salah satu contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Walter Veit & Milan Ney dalam artikelnya yang berjudul “Metaphor in Arts and Science” (2021).
Ilmuwan umumnya memadang kerja ilmiah hanya berkaitan dengan nilai epistemik (apa yang benar?); sedangkan seniman umumnya memandang kerja artistik hanya berkaitan dengan dengan nilai estetik (apa yang indah/elok/elegan/membangkitkan pengalaman estetik?). Dalam beberapa hal, yang indah kadang bertentangan dengan yang benar, sehingga seni sulit bertemu dengan sains. Veit & Ney, yang sama-sama merupakan akademisi filsafat, berusaha menjembatani dua bidang yang tampak tak dapat disatukan itu.
Bagi mereka, landasan bersama bagi seni dan sains adalah metafora. Di dalam seni, metafora tidak hanya memiliki fungsi estetik, tetapi juga fungsi epistemik. Demikian juga di dalam sains, metafora tidak hanya memiliki fungsi epistemik, tetapi juga fungsi estetik. Begitulah fungsi filsafat sebagai teman ilmu-ilmu: mendengarkan dan mempelajari problem-problem ilmu-ilmu lain untuk membuka kemungkinan dialog lintas-keilmuan.
Namun, di kalangan orang yang menekuni bidang ilmu non-filsafat, terutama ilmu-ilmu alam, filsafat ini tampak seperti mobil tua yang sudah ketinggalan zaman. Mereka menganggap filsafat sudah tidak dibutuhkan lagi untuk mengembangkan bidang keilmuan mereka. Mereka benar jika filsafat tetap dengan kejemawaannya.
Oleh karenanya, untuk memoderasi spesialisasi ilmu yang ekstrem itu tanpa ekses matinya kepakaran, perlu ada kebijakan baru tentang kurikulum pendidikan di perguruan tinggi dengan mempertimbangkan secara serius posisi filsafat. Di setiap bidang keilmuan perlu diajarkan filsafat tentang ilmu terkait. Misal, filsafat biologi untuk bidang ilmu biologi; filsafat fisika untuk fisika; filsafat psikologi untuk psikologi; dan lain sebagainya.
Filsafat-filsafat tentang bidang ilmu tertentu itulah yang akan memungkinkan mahasiswa/dosen ilmu terkait untuk berdialog dan mencari landasan bersama dengan ilmu-ilmu lain yang relevan (misal: biologi dan psikologi). Mengapa harus melalui filsafat? Karena hanya filsafat yang secara metodologis mungkin untuk menjangkau banyak sekali disiplin. Melalui reposisi filsafat itulah, nanti akan terbentuk jembatan ilmu-ilmu.[]
*Artikel ini telah terbit pertama kali di Harian Kompas edisi 25 Maret 2022