Mahasiswa UGM mengenalkan metode Biokonversi Maggot untuk mengelola limbah organik rumah tangga. Melalui Program Kreativitas Mahasiswa Bidang Pengabdian Masyarakat (PKM-PM) UGM dan telah mendapat sumber pendanaan dari Kemendikbud Ristek, mereka memperkenalkan metode biokonversi maggot kepada kelompok wanita dalam mengolah limbah organik rumah tangga dengan menggunakan Black Soldier Fly Larvae.
Pengabdian dengan mengupayakan pengelolaan limbah organik rumah tangga berbasis pemberdayaan kelompok wanita ini dilakukan empat mahasiswa UGM di kampung Pedak RT 14/ RW 06, Karangbendo, Desa Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Adapun keempat mahasiswa UGM tersebut adalah Arifa Zaini Syafhira (ketua), Nabila Azizah, Hanna Priyo Cahyono (Fakultas Peternakan), dan Faaris Satrya Dharmawan (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik).
Arifa Zaini Syafhira menjelaskan program pengolahan limbah organik dengan menggunakan Black Soldier Fly Larvae karena larva BSF dinilai dapat menguraikan sampah organik dengan cepat. Selain itu, maggot BSF juga memiliki kandungan protein cukup tinggi sebagai pakan tambahan pada ternak.
“Oleh karena itu, pemanfaatan maggot BSF tidak hanya berhenti sebagai pengurai limbah organik saja, tetapi juga memiliki manfaat yang berkelanjutan,” ujar Arifa Zaini, di Kampus UGM, Jumat (2/9).
Ia menjelaskan awal munculnya ide pengelolaan limbah organik oleh kelompok wanita berasal dari banyaknya sampah organik yang kurang optimal dimanfaatkan. Bahkan, sering dibuang sembarangan yang menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat dan mengakibatkan penumpukan sampah di beberapa tempat.
“Adanya tumpukan sampah membuat kami tergerak untuk turun tangan dan bersama tim mencoba mengatasi permasalahan yang ada,” jelasnya.
Hanna Priyo Cahyono menambahkan sampah organik sisa-sisa makanan di Kampung Pedak, Desa Karangbendho kurang begitu mendapat perhatian sehingga tidak dikelola dengan baik. Masih beruntung terkadang ada sebagian masyarakat memanfaatkannya untuk makanan ayam-ayam piaraannya, meskipun tidak sedikit pula dari mereka hanya membiarkan menumpuk dan membuangnya begitu saja.
Padahal, jika sampah-sampah organik tersebut dikelola dengan baik akan memberikan nilai tambah dan bermanfaat. Tentu saja, semua itu bisa dimulai dengan melakukan pemilahan sampah organik sisa makanan dari skala rumahan.
“Disini peran ibu-ibu menjadi tokoh utama karena ibu-ibu yang kerap melakukan pekerjaan dapur,” ucap Hanna.
Menurutnya sisa makanan yang dibuang dari masing-masing keluarga setiap hari bisa dimanfaatkan sebagai pakan maggot. Maggotnya sendiri bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak berprotein tinggi serta bernilai ekonomis.
“Maggot ini sedang naik daun karena banyak penelitian yang membuktikan bahwa maggot BSF memiliki kandungan protein yang baik untuk ternak. Karenanya sisa-sisa makanan seperti nasi basi, makanan yang tak habis dimakan, sayur dan buah yang busuk bisa dimanfaatkan jadi pakan maggot BSF. Maggot BSF yang dibudidayakan ini tentu bisa dijual dan bisa menambah pendapatan,” ujarnya.
Hanna menerangkan proses pembudidayaan maggot ini cukup mudah dan tidak memakan lahan serta waktu yang lama. Budi daya dapat dilakukan di lahan sempit oleh segala kalangan dan bisa dilakukan oleh siapapun.
Maggot daur hidupnya cepat dan mudah dikembangbiakkan. Tidak perlu lahan yang luas dan bisa dimulai dari skala rumahan, dan apabila dibudidayakan maka dalam 2 minggu bisa siap panen.
“Orang awam pun bisa. Sebanyak 5 gram telur maggot bisa menghasilkan sampai 7 kg maggot siap panen. Harga pasarannya pun terbilang tinggi, mencapai dua puluh ribu per kilonya dan maggot kering lebih dari lima puluh ribu,” paparnya.
Sementara itu, Prof. Dr. Ir. Lies Mira Yusiati, SU., IPU, ASEAN Eng selaku dosen pembimbing menyatakan program ini bisa menjadi alternatif solusi permasalahan sampah organik yang menumpuk yang dihadapi masyarakat. Selain itu, pengelolaan sampah organik sisa makanan yang dikaitkan dengan program budi daya maggot ini tentu diharapkan dapat menambah icome ekonomi warga.
Penulis : Agung Nugroho