Bahasa campuran (code-mixing) merupakan salah satu bentuk gaya bahasa yang muncul dalam masyarakat bahasa bilingual ataupun multilingual. Salah satu bentuk bahasa campuran yang akhir-akhir ini marak digunakan dan mendominasi dalam percakapan generasi muda, khususnya kalangan mahasiswa di D.I. Yogyakarta adalah bahasa campuran Indonesia-Inggris atau dikenal juga sebagai bahasa Indoglish atau bahasa Jaksel.
Munculnya gaya bahasa campuran secara umum merupakan hasil kontak bahasa dalam masyarakat bahasa yang bilingual atau multilingual dan kontak bahasa semacam itu semakin masif terjadi di era globalisasi ini.
Maraknya penggunaan bahasa campuran Indonesia-Inggris tersebut nampaknya perlu digali lebih lanjut mengenai alasannya karena dinamika penggunaan bahasa dapat dijadikan sebagai indikator bagaimana dominasi budaya tertentu atas budaya lain dalam masyarakat.
Adalah Doni Andika Pradana, Wahida Okta Khoirunnisa, Danu Saifulloh Rahmadani (Filsafat 2020), Della Ayu Banon Rekno Habsari (Filsafat 2021), dan Zania Mashuro (Sastra Indonesia 2020) yang tergabung dalam Tim Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) UGM Riset Sosial Humaniora menggali permasalahan tersebut dengan melakukan penelitian. Keempat mahasiswa UGM tersebut melakukan penelitian secara mendalam terhadap fenomena penggunaan gaya bahasa campuran yang akhir-akhir ini ramai digunakan oleh Mahasiswa di D.I. Yogyakarta.
“Kami melakukan penelitian selama 4 bulan dengan judul Kekerasan Simbolik pada Penggunaan Bahasa Campuran dan Implikasinya pada Identitas Budaya,” ujar Doni Andika Pradana, di Kampus UGM, Senin (5/9).
Doni menjelaskan untuk menyelidiki fenomena penggunaan bahasa campuran secara komprehensif, Tim Mahasiswa UGM dalam penelitiannya menggunakan perspektif indisipliner, yaitu Filsafat dan Sastra Indonesia. Penelitian berupaya menyelidiki fenomena penggunaan gaya bahasa campuran tersebut secara radikal melalui perspektif filsafat postmodernisme apakah mengindikasikan adanya dominasi budaya tertentu dalam hal ini adanya kekerasan simbolik.
“Sedangkan dari perspektif Sastra Indonesia berupaya untuk menyelidiki secara komprehensif mengenai faktor penyebab maraknya fenomena ini,” jelasnya.
Wahida Okta Khoirunnisa turut menjelaskan bahwa maraknya penggunaan bahasa campuran Indonesia-Inggris di kalangan mahasiswa pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu antara lain bahasa campuran Indonesia-Inggris dipandang lebih komunikatif. Selain itu, terlihat keren dan prestisius dan memiliki daya pengaruh yang lebih untuk mengarahkan pemahaman lawan bicara.
Disebutnya pengguna gaya bahasa campuran Indonesia-Inggris rata-rata berasal dari kalangan tertentu seperti mahasiswa yang berasal dari kota-kota besar. Mahasiswa dengan status ekonomi tinggi dan memiliki akses yang lebih terutama dalam pendidikan terhadap penguasaan bahasa.
“Bahkan para pengguna gaya bahasa campuran ini memiliki kelompok atau komunitas tertentu yang tentunya berasal dari latar belakang yang sama,” terangnya.
Ayu Banon Rekno Habsari menambahkan berdasar data yang dikumpulkan maka kemudian terlihat suatu persoalan ketika seseorang menggunakan bahasa tertentu lalu menerapkannya pada situasi dan kondisi sistem bahasa yang berbeda sebenarnya telah menunjukkan bahwa kuasa struktur bahasa telah bekerja dan tumbuh dalam diri pengguna serta merepresentasikan kuasa bahasa mana yang melekat dalam diri, khususnya kelas sosial. Dengan kata lain, penggunaan gaya bahasa campuran Indonesia-Inggris dalam arti dan situasi tertentu mampu menginklusi seseorang pada kelompok tertentu dan membedakan seseorang dari kelompok lain.
“Hal inilah yang kemudian dipahami sebagai kekerasan simbolik,” paparnya.
Maraknya penggunaan gaya bahasa campuran dikhawatirkan akan mengancam eksistensi bahasa Indonesia itu sendiri sebagai identitas budaya bangsa. Penggunaan gaya bahasa campuran secara lisan lambat laun akan memengaruhi bahasa tulis yang berkembang.
Dengan begitu, kompleksitas gaya bahasa campuran Indonesia-Inggris di satu sisi merupakan gaya bahasa yang komunikatif, tetapi di sisi lain penggunaan bahasa campuran semacam ini menandakan kusutnya pikiran si penutur dan ketidakmampuan dalam menyusun kalimat. Bahkan, mengandung unsur kekerasan secara simbolik dan dapat mengancam eksistensi bahasa Indonesia sebagai identitas budaya nasional.
“Karenanya diperlukan upaya untuk mengantisipasi dampak buruk dari adanya gaya bahasa campuran,” ucapnya.
Menanggapi implikasi dari fenomena gaya bahasa campuran, menurut Zania Mashuro, diperlukan berbagai upaya yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Diantaranya penamaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dalam pendidikan perlu digencarkan, Balai Bahasa harus menguatkan dan menggelorakan lagi sikap cinta bahasa Indonesia, dan para akademisi perlu melakukan kajian yang lebih komprehensif mengenai bahasa dan identitas budaya.
“Terakhir yang tak kalah penting adalah masyarakat harus senantiasa membiasakan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” imbuh Zania.
Penulis : Agung Nugroho