Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK KLHK) 287/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2022 tertanggal 5 April 2022 tentang Kebijakan Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak. Tidak sedikit pihak yang merasa keberatan dengan SK yang mengalihfungsikan 1.103.941 Ha kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi Jawa Timur yang sebelumnya dikelola Perhutani menjadi hutan dengan pengelolaan khusus.
Menyikapi hal tersebut Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM (LEM FKT UGM) mengadakan kegiatan diskusi yang membahas mengenai implementasi kebijakan KHDPK. Kegiatan yang bertajuk “SIKAT: Diskusi Singkat Mengenai Polemik Impelementasi KHDPK Dalam Rekonfigurasi Hutan Jawa” pada Jumat (16/9) di Ruang Auditorium Fakultas Kehutanan UGM. Diskusi diadakan dengan mengundang empat pembicara yaitu Panji Pawata selaku Wakil Menteri Koordinator Pengetahuan dan Pergerakan LEM FKT UGM, Teguh Yuwono, S.hut., M.Sc. selaku akademisi dari Fakultas Kehutanan UGM, Totok Dwi D SH., M.A., LL.M dari Fakultas Hukum UGM sebagai pengamat kebijakan publik, dan Heri Nur Afandi selaku Ketua Umum Serikat Pekerja Pegawai Perhutani.
Totok menyebutkan bahwa tidak ada transparansi mengenai SK 287 tahun 2022. Di dalamnya tidak dilampirkan peta yang seharusnya tidak terpisahkan bersama SK tersebut. Idealnya, perhutani dan KHDPK berdampingan dengan kejelasan teritori atau konsesi masing-masing.
“Sepanjang penetapannya tidak dituangkan dengan landasan hukum yang memadai, tetapi faktanya tidak,” ujarnya
Ia juag menyoroti SK 73/2021 yang bertujuan mengisi kekosongan hukum setelah pencabutan Pasal 3 ayat 1 PP 72/2010 sebagai wewenang Perum Perhutani tentang pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung di Pulau Jawa yang dicabut melalui Pasal 301 huruf H PP23/2021 dinilai tidak dapat mengisi kekosongan hukum secara hakikat. Sebab, SK tidak bisa disejajarkan dengan PP sehingga seharusnya ada mandat terbaru berupa PP.
Sementara itu, Heri Nur Afandi menyatakan keberatan dengan penetapan SK 287. Pasalnya, hingga kini tidak ada sosialisasi yang jelas terkait keputusan tersebut. Keputusan tersebut juga mengancam eksistensi Perum Perhutani dan karyawannya.
Sementara Teguh Yuwono mentakan implementasi KHDPK dapat mempercepat penerapan program perhutanan sosial yang ditargetkan mencapai 12.7 juta hektare kawasan hutan. Menurutnya, perhutanan sosial di Jawa adalah sebuah keniscayaan. Namun, dinamika KHDPK di lapangan yang kompleks dapat menimbulkan beragam persoalan. Salah satunya seperti potensi free rider yang memanfaatkan areal KHDPK secara ilegal dan menimbulkan konflik horizontal pada tingkat tapak. Oleh sebab itu, rasionalisasi kawasan hutan di Jawa melalui KHDPK seyogianya didahului kajian pakar atau tim ahli multidisipliner dan dilakukan secara bertahap. Selain itu, juga diikuti dengan pendampingan masyarakat mengenai perhutanan sosia.
Penulis: Ika