Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, dosen Departemen Atropologi, Fakultas Ilmu Budaya UGM, dikukuhkan sebagai Guru Besar. Dalam upacara pengukuhan yang berlangsung di Balai Senat UGM, Selasa (28/2), ia menyampaikan pidato berjudul Kontestasi Rasionalitas Substantif Ngasak di Jerman Selatan.
Ngasak menyitir pendapat Weber (2019) merupakan kegiatan ekonomi dengan rasionalitas substantif yang mengutamakan etika dan utilitas sebagai dasar perhitungan. Sementara secara etika, ngasak di Eropa merupakan jalan keluar kaum Kristiani dalam mengatasi ketimpangan akses terhadap pangan di pedesaan.
Diangkatnya judul tersebut oleh Pujo Semedi mendasarkan pada pengalaman diri sebagai seorang etnografer yang berkesempatan mengamati kehidupan masyarakat desa pertanian di Jerman Selatan di tahun 2017. Disana banyak ditemui perbedaan antara para petani penggarap di Jerman Selatan dan petani penggarap di Jawa atau di daerah lain di Indonesia baik dari sisi kemakmuran, ukuran lahan, teknologi kerja, jenis budidaya tanaman dan petaninya sendiri.
Dalam pidatonya, dia menyampaikan bahwa riwayat ngasak di Jerman muncul sejak kira-kira pertengahan abad ke 19 hingga sekarang ini. Ngasak pada dasarnya merupakan riwayat ekspansi kapitalisme ke dalam pertanian, dimana industri di kota telah menggerakkan eksodus tenaga kerja dari pedesaan.
Lahan-lahan pertanian dikonsolidasi, kerja tani dimekanisasi dan usaha berbasis rumah tangga dikomersialisasi. Perubahan ini membuat para petani pemilik tanah menjadi semakin mengutamakan hak privat dan berat hati untuk menerima tradisi ngasak.
“Setiap butir panen yang diasak adalah kehilangan kesempatan untuk mendapat sekeping uang hasil penjualan. Untungnya orang miskin di desa sudah sangat berkurang, sehingga ngasak tidak terlalu diperlukan lagi sebagai jaring pengaman sosial pedesaan,” katanya.
Masalahnya kemudian, sektor industri yang menyelesaikan kemiskinan di pedesaan ternyata menciptakan kemiskinan baru di perkotaan. Kemiskinan baru ini lebih mengkhawatirkan karena di kota kebanyakan orang miskin tidak lagi punya akses materi subsistensi.
Mereka tidak memiliki kebun dan juga tidak punya tetangga yang memiliki kebun, yang panennya bisa langsung dikonsumsi. Kebun orang kota ada di pasar, di toko dan pabrik pengolahan makanan, dan ke lokus inilah ngasak di kalangan masyarakat kota diarahkan.
“Dari rentetan ini terlihat bahwa industrialisasi di Jerman tidak menghilangkan ngasak, tetapi memindahkan lokasinya dari pedesaan ke perkotaan,” ungkapnya.
Meski begitu, industrialisasi di Jerman ternyata tidak ramah terhadap tradisi ngasak. Di dalam relasi ekonomi kapitalis, rasionalitas substantif utilitarian dan etika terus digerus oleh gelombang privatisasi yang memegang kuat doktrin kerja menciptakan hak, dan panen merupakan hak eksklusif mereka yang menanam bahwa hasil kerja adalah hak eksklusif mereka yang menginvestasikan modal, waktu, tenaga dalam proses penciptaan produk.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto