Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan berdampak pada peningkatan permintaan produk pangan yang menyehatkan, termasuk produk probiotik. Sayangnya, suplemen probiotik dan makanan probiotik yang beredar di dalam negeri hampir semuanya menggunakan probiotik impor. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi peneliti Indonesia untuk menghasilkan produk probiotik indigenous asli Indonesia.
“Padahal, probiotik indigenous yang berasal dari Indonesia telah banyak diteliti oleh para peneliti Indonesia baik karakteristiknya, manfaat kesehatannya, aspek keamanannya, bahkan sampai pada produksi bubuk probiotik dan pengembangan produk- produk makanan probiotik. Namun demikian, sebagian besar produksinya masih skala laboratorium, skala kecil meskipun beberapa peneliti telah melakukan peningkatan skala produksi,”papar Prof. Dr. Ir. Tyas Utami, M.Sc., saat dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Mikrobiologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Selasa (14/3) di Balairung UGM.
Menyampaikan pidato berjudul Probiotik Indigenous: Potensi dan Tantangannya Dalam Mendukung Kesehatan, Tyas menyebutkan riset tetap harus dilakukan untuk mendukung dan mendapatkan lebih banyak bukti ilmiah manfaat probiotik indigenous bagi kesehatan. Selain itu, komersialisasi produksi probiotik indigenous dan produk-produk makanan probiotik perlu dilakukan sehingga dapat dipasarkan dan dinikmati oleh masyarakat.
Berbagai penelitian untuk menghasilkan probiotik indigenous telah dilakukan oleh para peneliti di tanah air. Probiotik indigenous dihasilkan dari strain probiotik yang diisolasi dari bahan alami Indonesia, seperti makanan tradisional maupun feses bayi sehat dan ASI Indonesia. Para peneliti telah melakukan isolasi, seleksi, identifikasi dan karakterisasi probiotik dari berbagai sumber di Indonesia seperti dari dadih, asinan kubis, sarang lebah, susu kuda Sumbawa dan ASI. Demikian halnya seperti yang dilakukan oleh tim peneliti di PUIPT-Probiotik Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM. Tyas mengatakan PSPG UGM telah memiliki koleksi bakteri probiotik yang diisolasi dari berbagai makanan tradisional Indonesia, salah satunya adalah L. platarum Dad- 13, yang penamaannya menjadi Lactiplantibacillus plantarum subsp. plantarum Dad-13. Bakteri probiotik tersebut telah melewati serangkaian penelitian dan terbukti aman untuk dikonsumsi dan dapat memberikan manfaat kesehatan. Selain memenuhi karakteristik sebagai probiotik, bakteri L. plantarum Dad-13 dapat digunakan sebagai kultur starter pada fermentasi susu, serta memiliki kemampuan dalam meningkatkan aktivitas antioksidan pada fermentasi susu, sari legume dan serealia. Produksi probiotik indigenous ini telah melewati penelitian yang cukup panjang untuk menghasilkan media produksi probiotik yang halal menggunakan bahan-bahan lokal.
Ia menyampaikan tim (PUIPT-Probiotik) UGM telah melakukan intervensi suplemen probiotik indigenous yang berisi L. plantarum Dad-13 pada pasien OTG Covid-19 di Buleleng, Bantul, dan Sleman melibatkan sekitar 230 pasien. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi probiotik secara signifikan dapat meringankan keluhan yang dirasakan pasien serta dapat menekan kejadian diare pada pasien OTG Covid-19. Diperkirakan probiotik dapat membantu menjaga keseimbangan mikrobiota usus dan mengurangi keparahan akibat serangan Covid-19.
Peneliti PSPG UGM ini menambahkan bahwa PSPG UGM telah memiliki Unit Produksi Kultur Starter dan Probiotik yang telah mendapatkan Sertifikat Halal sejak tahun 2019. Melalui Unit ini telah dihasilkan bubuk probiotik yang dapat digunakan sebagai suplemen probiotik, diaplikasikan untuk menghasilkan makanan probiotik seperti coklat probiotik, snack-bar probiotik, dan es krim probiotik, ataupun sebagai kultur starter untuk produksi makanan fermentasi probiotik, seperti yoghurt, susu fermentasi probiotik, serta keju probiotik. Meskipun beberapa penelitian telah berkolaborasi dengan mitra industri, namun sebagian besar produk- produk probiotik masih berupa prototipe dan diproduksi skala laboratorium. Prototipe produk-produk makanan probiotik ini sangat berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk komersial, sehingga pemanfaatan probiotik indigenous ini akan semakin luas.
Dosen Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian FTP UGM ini menyebutkan tantangan pengembangan produk probiotik indigenous ke depan adalah teknologi produksi bubuk probiotik skala besar dengan kandungan sel hidup tetap tinggi sampai dikonsumsi, termasuk teknologi enkapsulasi, pengeringan dan pengemasan untuk melindungi sel probiotik. Dalam pengembangan produk-produk makanan probiotik diperlukan juga modifikasi proses untuk memastikan probiotik tetap hidup tanpa mempengaruhi karakteristik produk tersebut. Oleh karenanya diperlukan riset skala pilot-plant untuk menjembatani penelitian di laboratorium menuju ke komersialisasi.
“Tantangan bagi para peneliti untuk dapat menghasilkan bubuk probiotik dengan ketahanan hidup dan aktivitas yang tinggi dengan umur simpan yang panjang. Untuk dapat memproduksi bubuk probiotik skala besar, dan komersialisasi produk- produk makanan probiotik, perlu tahap penelitian peningkatan skala produksi, penyesuaian peralatan dan proses produksi, serta pemenuhan persyaratan produk,”urainya.
Menurutnya, pengembangan produk-produk probiotik indigenous yang memberikan manfaat kesehatan akan memperluas jangkauan pemanfaatnya dalam mendukung kesehatan. Disamping itu penggunaan bahan-bahan lokal akan mendukung program pemerintah dalam peningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Untuk itu kerja sama yang sinergis antara peneliti dari berbagai disiplin ilmu, mitra industri dan perguruan tinggi sangat diperlukan.
Penulis: Ika
Foto: Firsto