Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan bersama Yayasan Save The Children Indonesia menghadirkan topik mengenai pola asuh masyarakat dalam serial webinar Social Development Talks pada Sabtu (12/5). Diskusi yang bertema “Pengasuhan Anak di Indonesia” ini mengundang Tata Sudrajat, selaku Deputy Chief of Prgram Impact and Creation Yayasan Save The Children Indonesia.
Umumnya, budaya pengasuhan dalam keluarga Indonesia saat ini hanya ditekankan pada peran ibu. Padahal, peran ayah justru sangat krusial untuk mendukung tumbuh kembang anak. “Ketika seorang ayah terjun membantu anak, ternyata anak lebih cepat lagi mengalami kemajuan. Karena secara fisik pun, ayah dapat mendukung segala kebutuhan anak dengan cepat. Saya kira ini memiliki pengaruh yang besar,” tutur Tata. Ia juga menunjukkan hasil riset dari Yayasan Save The Children Indonesia yang dilakukan pada anak-anak disabilitas yang menunjukkan, perkembangan anak mengalami percepatan lebih baik dengan adanya peran ayah.
“Kalau kita melihat secara lebih luas, sebenarnya Indonesia memiliki tradisi pengasuhan berbasis keluarga. Pertanyaannya, apakah tradisi ini sudah bergeser? Mungkin saja, karena ada proses diferensiasi dari keluarga besar menjadi keluarga inti,” ucap Tata. Menurutnya, pergeseran budaya ini tidak hanya timbul dalam persoalan anak saja, namun kasus yang sama juga ditemui dalam pengasuhan untuk lansia. Peran kerabat cukup berpengaruh dalam membenahi disfungsi keluarga inti.
Survei membuktikan, ada sekitar 2,15 juta anak berumur 15 tahun ke bawah tidak tinggal bersama orang tuanya. Sebanyak 59% dikatakan tinggal bersama kakek dan nenek.” Menurut saya ini menarik ya. Pertanyaannya adalah, apakah kakek nenek, terutama yang tidak mampu itu mendapat bantuan dari pemerintah. Saya pernah mendengar dari Kemensos, mereka mengatakan belum ada bantuan yang tertuju pada kakek nenek yang mengasuh anak,” tambahnya.
Selain masalah pengasuhan anak dalam keluarga, Indonesia ternyata merupakan negara dengan jumlah anak panti asuhan tertinggi di dunia. “Riset 2007 menemukan bahwa 500.000 anak tinggal di 8.000 panti asuhan. Ini jumlah tertinggi di dunia,” ungkap Tata. Tak hanya itu, riset tersebut juga menemukan bahwa 90% anak yang berada di panti asuhan sebenarnya memiliki dua orang tua lengkap. Alasan utama mereka berada di sana adalah karena kemiskinan, bukan karena kehilangan orang tua.
Tata menjelaskan, klaim panti asuhan sebagai tempat bagi anak yatim/piatu ini diduga karena ingin menumbuhkan rasa iba di masyarakat. “Fakta bahwa ketidakmampuan orang tua membuat anak dikirim ke panti asuhan menunjukkan adanya pergeseran peran dari panti asuhan itu sendiri. Mungkin anak-anak panti bisa mendapatkan pendidikan formal sampai selesai, tapi bagaimana dengan pengasuhannya? Riset tersebut menunjukkan tidak ada pengasuhan di sana, melainkan hanya pembinaan,” tambahnya.
Menurut Tata, masyarakat saat ini harus paham mengenai apa itu sebenarnya pengasuhan. Membesarkan seorang anak tidak hanya membutuhkan kasih sayang semata, namun juga kelekatan, kelayakan hidup, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan berkelanjutan hingga anak tumbuh dewasa.
Penulis: Tasya