Di dalam pembangunan nasional yang berkelanjutan, jaminan ketersediaan energi listrik yang andal, cukup, berkualitas, dan ekonomis menjadi prasyarat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan sosial, penciptaan lapangan kerja produktif, memperkuat industri, dan menciptakan sektor bisnis yang sehat.
Untuk menghimpun pemikiran strategis dari para pakar sebagai masukan kepada para pengambil kebijakan, Engineering Research and Innovation Center Fakultas Teknik UGM menyelenggarakan seminar dengan tema “Membangun Industri Kelistrikan Yang Sehat Untuk Mendukung Percepatan Transisi Energi”, Selasa (16/5) di gedung Smart Green Learning Center. Kegiatan ini diselenggarakan bekerja sama dengan pakar kelistrikan dari sejumlah perguruan tinggi serta organisasi seperti Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI).
“Kalau mau berbisnis sehat perusahaannya harus dibuat sehat, harus didukung oleh regulasi-regulasi yang memungkinkan industri kelistrikan tumbuh secara sehat, pelanggan juga harus dilayani secara sehat,” ucap Prof. Ir. Tumiran, M.Eng., Ph.D., pakar kelistrikan UGM.
Istilah transisi energi sendiri mengacu pada tren pergeseran penggunaan sumber energi fosil yang tidak terbarukan seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara ke sumber energi terbarukan seperti energi surya, energi angin, dan energi air. Transisi energi menjadi semakin penting karena masalah lingkungan dan ketersediaan sumber daya yang semakin menipis.
Transisi energi juga mencakup upaya untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Upaya transisi energi melibatkan kebijakan pemerintah yang mendukung sumber energi terbarukan dan memberikan insentif untuk mengurangi penggunaan energi fosil.
Pada seminar ini, topik transisi energi juga diulas dari sudut pandang legal oleh dosen Fakultas Hukum UGM, Dr. Irine Handika, S.H., LL.M. Ia berbicara mengenai konsep just transition, yang menjadi dasar desain skema transisi energi, serta perjanjian pendanaan transisi energi yang disebut sebagai Just Energy Transition Partnership (JETP). Menurutnya, tidak mudah secara hukum untuk menyelaraskan peraturan undang-undang dengan JETP. Dari 12 kebutuhan norma yang harus ada, hanya ada 2 norma yang sudah siap.
“Jalan masih panjang. Jika kita ingin berkomitmen pada JETP maka upayanya harus holistik, pembuat kebijakan diberikan proteksi yang cukup sehingga apapun nanti keputusan yang diambil itu memang punya dasar hukum yang kuat dan sesuai antara regulasi yang lebih tinggi dan regulasi yang lebih rendah,” terang Irine.
Selain pakar dari UGM, seminar ini juga menghadirkan pakar dari Institut Teknologi Bandung, Dr. Ir. Nanang Hariyanto, MT., yang membawakan materi bertajuk “Perlukah Power Wheeling untuk Mendukung Percepatan Transisi Energi?”, serta pakar Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dedet Candra Riawan,ST., M.Eng., Ph.D., yang membawakan materi “Strategi Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.
Pembicara lain yang turut hadir dalam seminar ini di antaranya Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jisman P. Hutajulu, Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto, dan Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo.